Selasa, 08 Oktober 2013

Filsafat Ilmu

1. Latar belakang Ada ungkapan yang mengatakan "Barang siapa ingin dunia maka raihlah dengan ilmu dan barang siapa ingin akhirat maka raih pulalah dengan ilmu, dan barang siapa ingin kedua-duanya maka raih pulalah dengan ilmu". Ungkapan ini bukan sekedar barisan kalimat biasa namun ungkapan yang mengandung makna yang sangat berarti bahwasanya ilmu pengetahuan sangatlah di perlukan dalam perjalanan mengarungi bahtera hidup ini, seseorang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan bagaikan perahu yang berada di tengah lautan tanpa mesin, tidak mempunyai arah dan tujuan. Menuntut ilmu wajib dan penting bagi setiap orang. Sejak balita kita sudah mulai diajarkan beberapa ilmu oleh orang tua kita. Bahkan dari masih dalam kandungan pun kita sudah mendapatkan berbagai macam ilmu. Baik itu Ilmu Pengetahuan Agama, Alam, Sosial, ataupun yang lainnya. Dalam surat Ar-Rahman, Allah menjelaskan bahwa diri-Nya adalah pengajar (‘Allamahu al-Bayan) bagi umat Islam. Dalam agama-agama lain selain Islam kita tidak akan menemukan bahwa wahyu pertama yang diturunkan adalah perintah untuk belajar. Tapi jangan juga semata-mata hanya mencari ilmu secara terus menerus, ilmu yang kita dapat akan lebih baik apabila kita mengajarkannya kepada orang lain. Karna sesungguhnya ilmu itu adalah sebuah kekuatan, yang penting ilmu pengetahuan yang kita cari itu bersifat dan bernilai positif bagi kita sendiri maupun bagi orang lain. Islam adalah agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan dan menghormati orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan, yaitu para ilmuwan dan ulama. Allah meninggikan orang-orang yang yang beriman dan berilmu beberapa derajat. (QS al-Mujadilah [58 ]: 11). Ilmu menjadi dasar keutamaan manusia dan menjadi penentu kemuliaannya. Penunjukan Nabi Adam AS sebagai khalifah tak lain adalah karena ilmu (potensi intelektualitas)-nya, sehingga ia mampu mengalahkan pesaing (kompetitor) terberatnya, yaitu para malaikat (QS al-Baqarah [2]: 30). Dalam Islam, ilmu tidak hanya untuk ilmu, tetapi untuk kebaikan dan ibadah. Ilmu harus melahirkan amal atau tindakan nyata. “Knowing is not enough.” Kita harus berbuat dan bekarja sesuai ilmu yang dimiliki. Dikisahkan, pada suatu hari Abu Darda’, sahabat Nabi yang dikenal alim ini, berdiskusi dengan sahabat-sahabat Nabi yang lain. Diskusi sampai kepada soal-soal keakhiratan (eskatologi). Tiba-tiba, Abu Darda’ menangis, air matanya meleleh. Peserta diskusi pun terheran dan bertanya kepadanya mengapa ia menangis? Abu Darda’ menjawab, “Aku takut kelak di akhirat ditanya, ‘Apakah kamu punya ilmu dan apakah kamu melakukan apa yang kamu ketahui’?” (Rijal haula al-Rasul, hlm 362). Diskusi dan dialog di majelis ilmunya Abu Darda’ ini menarik disimak. Pertama, Abu Darda’, sang pengasuh majelis adalah salah seorang sahabat yang tidak hanya alim, tetapi juga takwa dalam arti memiliki rasa takut bercampur kagum (khasy-yah) yang tinggi kepada Allah. Yang demikian memang salah satu ciri dari seorang ulama. (QS Fathir [35]: 28). Kedua, objek (materi) diskusi tak melulu soal-soal dunia yang dari hari ke hari tak ada habis-habisnya. Diskusi soal keakhiratan penting untuk mempertinggi keimanan dan memperkuat daya ingat pada kematian. “Orang yang benar-benar pandai adalah orang yang mampu mengendalikan diri dan bekerja (memperbanyak bekal) untuk kebahagiaan hidup setelah mati.” (HR Ibnu Majah dan Thurmidzi dari Syadad bin Aus). Ketiga, ilmu merupakan salah satu aspek yang membentuk kualiatas keberagamaan (takwa) di samping aspek iman dan amal shaleh. Disadari, ajaran Islam, menurut ulama besar dunia, Syekh Yusuf al-Qaradhawi, berwatak “Mutakamil” (saling menyempurnakan). Ilmu, misalnya, memperkuat iman, tetapi tanpa iman, ilmu kurang berguna. Begitu juga, amal membutuhkan ilmu, tetapi ilmu tanpa amal seperti pohon tak berbuah alias kesia-siaan. Dilihat dari perspektif Abu Darda’, ungkapan, “ilmu adalah kekuatan” (knowledge is power) tidaklah berdiri sendiri, tetapi terikat oleh kekuatan yang lain, yaitu iman di satu sisi dan amal shaleh di sisi yang lain. Di sini, ilmu benar-benar menjadi kekuatan apabila ia diamalkan dan dijadikan sebagai sarana untuk memperoleh kemulian di akhirat. Soalnya, seperti diketahui, betapa banyak orang yang mengetahui, tetapi betapa sedikit orang yang melakukan apa yang mereka ketahui itu. Inilah yang membuat sahabat Abu darda’ menangis. Wallahu a`lam. Ustad Deden, kami biasa memanggilnya. Beliau adalah amilin di Al-Azhar Peduli Umat. Nah, yang menarik bagi saya adalah penyampaiannya dalam kultum rutin ba’da Dhuhur. Tentang keutamaan ilmu an orang yang memiliki ilmu. Ayat yang disampaikannya, tak lain adalah ayat ke-11 dari al-Quran surah al-Mujaadilah (surah ke-58 dalam al-Quran): “…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” Bagi seorang muslim, rasa-rasanya ayat ini sudah sering mampir ke telinga karena hampir semua penceramah dan mubaligh, atau guru pengajian kita pernah menyampaikan ayat ini ketika membahas keutamaan ilmu. Ya, orang beriman yang memiliki ilmu jauh lebih tinggi derajatnya dibanding orang yang beriman tetapi ilmunya kurang atau malah minim sekali. Kultum ba’da Dhuhur yang beliau sampaikan makin terasa memotivasi manakala ia mengutip sebuah syair dari Imam Syafi’i: “Man aroodaddunya fa’alaihi bi ’ilmi, wa wan aroodalaakhirot fa’alaihi bi ’ilmi wa man arooda humaa fa’alaihi bi ‘ilmi.” Artinya : “Barangsiapa yang ingin sukses di dunia maka hendaklah dengan ilmu, barangsiapa yang ingin sukses di akhirat maka hendaklah dengan ilmu, dan barangsiapa yang ingin sukses pada keduanya (dunia dan akhirat) maka hendaklah dengan ilmu (pula)” . Islam memotivasi umatnya agar mencari ilmu untuk kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allah Swt. berfirman, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia (Allah) telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan qalam. Dia (Allah) mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS al-‘Alaq [96]: 1-5) Allah Ta’ala menurunkan semua ilmu yang ada di dunia ini. Sayangnya, banyak orang yang tak bersemangat untuk mencarinya. Padahal, jelas ada perbedaan yang amat signifikan antara orang yang berilmu (yang mengetahui sebuah ilmu) dengan yang tak berilmu (tak memiliki pengetahuan seputuar keilmuan di bidang tertentu). Sebagaimana Allah Swt. berfirman, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS az-Zumar [39]: 9) Hmm… tentu amat kebetulan apa yang disampaikan Ustad Deden dalam kultum ba’da Dhuhur tadi dengan saat ini, saat saya sedang mengawas ujian bulanan Kelas Menulis Kreatif untuk para peserta diklat jurusan Menjahit dan Tatabusana. Persamaannya adalah dalam soal menulis adalah peserta diklat diminta menuliskan sebuah cerpen dengan tema mencari ilmu. Wah, menarik sekali. Jika mereka jeli, mungkin akan memasukkan pesan tersebut dalam cerpen yang mereka tulis. Baik, tak banyak cerita dalam tulisan sederhana ini. Ya, sekadar ‘mentransfer’ ulang ilmu yang saya dapatkan saat kultum ba’da Dhuhur tadi, semoga pembaca blog saya juga mendapatkan inspirasi dari cerita yang saya tuliskan ini. Yuk, kita berlomba untuk meraih ilmu. Sebagaiman perkataan Imam Syafi’i yang juga pernah saya dengar saat mengikuti salah satu kajian Islam, “Carilah ilmu sebagaiman seorang ilmu yang kehilangan anak perawannya.” Jika ilmu sudah didapat, maka insya Allah ilmu akan memberikan kita menguasai hal-hal yang belum diketahui oleh orang yang belum belajar. Seorang teman yang ahli di bidang komputer tentu berbeda dengan saya yang tak begitu mengerti seluk-beluk komputer. Begitupun sebaliknya, saya insya Allah lebih menguasai ilmu seputar kepenulisan ketimbang teman saya yang ngerti komputer tersebut. Jika saya mau belajar seputar komputer insya Allah bisa juga pada akhirnya, begitupun dengan teman saya yang mahir komputer tetapi juga terus belajar dan berlatih bisa juga menulis pada akhirnya. Insya Allah. Ayo, kejarlah ilmu yang Anda minati dan ingin kuasai. Namun, jangan lupa bahwa ilmu yang sudah kita dapatkan kemudian kita sebarkan lagi agar manfaatnya bisa dirasakan banyak orang dan tentu saja itu bernilai ibadah karena senantiasa mengharap ridho Allah Ta’ala bagi kebahagiaan di dunia dan juga akhirat. 2. Dasar penulisan Dilihat dari terbentuknya ilmu pengetahuan, munculnya ilmu pengetahuan dalam realitas sosial kita sebenarnya tidak terlepas dari perbincangan bagaimana ilmu pengetahuan itu dibentuk. Triyuwono (1997) melalui perspektif posmodernismenya mengungkapkan: Metodologi merupakan pola (pattern ) yang digunakan untuk memproduksi ilmu pengetahuan (teori). Ilmu pengetahuan sepenuhnya ditentukan oleh warna dan bentuk metodologinya yang didesain oleh ilmuwan. Ketika, misalnya, metode yang digunakan berdasarkan pada rasionalisme semata, maka ilmu pengetahuan yang dihasilkan akan memiliki warna yang sama, demikian juga sebaliknya bila dilandasi oleh pemikiran empirisme, atau gabungan dari kedua pola pemikiran di atas yaitu empirisme dan rasionalisme (Triyuwono, 1996: 3). Ilmu pengetahuan yang dibangun berbasiskan rasionalisme semata, tanpa memperhatikan aspek spiritual akan berdampak negatif pada kehidupan manusia, alam dan masyarakat. Sementara itu pengembangan ilmu pengetahuan yang hanya mendasarkan pada kekuatan spiritual, tanpa memperhatikan kekuatan rasional, pelakunya tidak mempunyai wawasan berfikir ilmiah dan mungkin tidak profesional 1 . Dengan memadukan keduanya akan memberikan sinergi yang optimal. Untuk lebih memberikan gambaran yang terfokus, kedua kekuatan rasional dan spiritual ini akan diaplikasikan pada disiplin ilmu auditing. Ilmu pengetahuan yang dibangun dengan kekuatan rasional Pengetahuan rasional diperoleh dari pengalaman yang kita alami dengan berbagai obyek dan peristiwa dalam lingkungan kita sehari-hari. Rasionalitas, dalam istilah modern, ______________________ 1 Profesional diambilkan dari pengertian dala standar umum auditing ke-1 yaitu pendidikan dan pengalaman teknis yang memadai. selalu berhubungan dengan realitas fisik. Rasionalitas dalam konteks ini sesungguhnya sangat sederhana dan terbatas. Ini mengabaikan segala hal yang nonfisikal, Chwastiak (1999). Pengetahuan rasional merupakan konsep dan simbol abstrak, dengan ciri struktur sekuensial linier yang khas sebagaimana cara kita berfikir dan berbicara. Ilmu pengetahuan ilmiah dibangun dengan kekuatan rasional dan empiris (materi) . Dengan mengutamakan pada materi, manusia cenderung berbuat secara rasional demi menguntungkan dirinya sendiri. Mementingkan ekonomi dan fisik yang akhirnya menciptakan materialistik, konsumeristik, dan uang seperti yang kita lihat sekarang ini disebut kapitalisme. Kapitalisme modern memiliki dua asumsi dasar tentang manusia. Pertama, kapitalisme modern mengasumsikan bahwa umat manusia pada dasarnya ada-lah makhluk ekonomi, dengan sifat yang disebut oleh Adam Smith sebagai sebuah "kecenderungan alamiah untuk melakukan pertu¬karan (barang dan jasa)". Kedua, kapitalisme mengasumsikan bahwa manusia akan selalu bertindak demi mengejar kepentingan rasional¬nya sendiri, atau setidaknya mengejar apa yang diprediksi akan menguntungkan (Zohar dan Marshal 2005, 44). Tepat pada inti kapitalisme dan bisnis-pada umumnya, bersemayam sebuah definisi yang sangat sempit tentang apa arti menjadi manusia dan apa arti usaha manusia. Manusia diukur lewat dahaganya akan keuntungan dan lewat kapasitas konsumsinya. Dampak ilmu pengetahuan yang dibangun dengan kekuatan rasional Sebagaimana telah dikemukakan bahwa ilmu pengetahuan yang hanya mendasarkan pada kekuatan rasional akan membawa akibat yang tidak baik bagi manusia, masyarakat dan alam. Suriasumantri (1996: 235 ) menunjukkan bahwa “Tanpa landasan moral maka ilmuan mudah sekali tergelincir dalam melakukan prostitusi intelektual. penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran”. Zohar dan Marshall melukiskan bisnis global sebagai "monster yang memangsa dirinya sendiri". Selanjutnya dikatakan Psikolog Viktor Frankl (pengarang Man's Search forMeaning ) men¬cermati bahwa para penghuni kamp konsentrasi Nazi Jerman yang mengkhianati orang lain demi kelangsungan hidup mereka sendiri akhirnya tidak bisa hidup tenang sesudahnya. Bunuh diri yang dila¬kukan penulis besar abad ke-20, Primo Levi, diyakini disebabkan oleh ketidakmampuannya menerima apa yang dilakukannya untuk bertahan hidup di Auschwitz. Sebaliknya, ada tak terhitung kisah tentang orang yang dengan ikhlas mengorbankan hidup mereka (kelangsungan fisiologis) demi orang lain atau demi tujuan-tujuan yang mereka yakini. Dalam kajian Frankl, para tawanan di Auschwitz yang memiliki keyakinan agama atau cita-cita politik yang kuat ternya¬ta bertahan lebih baik ketimbang orang-0rang yang tidak memili¬kinya. Para pelaku bom bunuh diri terhadap WTC dan Pentagon pada 11 September melakukan pengorbanan sejenis, sebagaimana yang dilakukan pula oleh banyak orang lain di Timur Tengah. Boleh jadi kita benci terhadap apa yang dilakukan mereka, tetapi kita tak bisa menampik fakta bahwa mereka berhasrat mati demi apa yang mereka pandang sebagai tujuan yang luhur-betapa pun jahat dan merusak¬nya tujuan ini (Zohar dan Marshall, 2005: 47) Jika kekuatan lain (spiritual) diabaikan dalam pengembangan ilmu pengetahuan, sementara hanya mengandalkan kekuatan rasional, masyarakat akan rusak. Sebagaimana dikemukakan Winarta (2005): “……karena pembangunan Orde Baru mementingkan ekonomi dan fisik telah menciptakan masyarakat yang materialistik, konsumeristik, hedonitis, dan koruptif. Pembangunan moral diabaikan. Pendidikan mundur, tidak didanani dan ditata secara modern dan efisien. Akhirnya akhlak masyarakat umumnya terpengaruh dan ini mempengaruhi moral bangsa….” Saat ini, masalah dan tantangan yang menghadang bisnis begitu besar: perubahan yang cepat, globalisasi, teknologi baru, harapan pelanggan yang lebih besar, krisis politik, sosial, dan ekologis. Budaya kapitalis dan praktik bisnis yang beroperasi di dalamnya tengah berada dalam krisis. Kerusakan akibat mengutamakan kepentingan material dan rasional telah meluas pada berbagai aspek seperti sosial, politik, budaya (sospolbud), hukum, dan ekonomi. a. Aspek sosial, politik dan budaya Dalam aspek sosial manusia sebagai bagian dari anggota masyarakat yang mengutamakan kekuatan rasional (material) cenderung be rsifat individual dan materialistik. Semangat tolong menolong atau gotong royong semakin termarginalkan, manusia cenderung egoistik, jiwa belas kasihan atau kepedulian sosial menjadi semakin terkikis. Dari sisi kekuasaan, banyak kita lihat upaya saling jegal-menjegal dalam rangka memperebutkan atau mempertahankan kekuasaan. Di era Orde Baru kita dapat melihat bagaimana penguasa memberangus (memenjarakan, menculik, bahkan menghabisi) orang atau kelompok yang dipandang membahayakan kepentingannya dengan dalih yang mereka pandang rasional, misalnya subversif atau merongrong kewibawaan pemimpin atau dirasionalkan merongrong kewibawaan negara. Fenomena korupsi dalam praktik bisnis cenderung identik dengan analisis dari kaum Stoa atau aliran Eudai¬monisme. Proses untuk memperoleh suatu kekuasaan di¬dasarkan pada kemampuan ekonomi, yang pada akhirnya kekuasaan dalam jabatan berorientasi pada prinsip-prinsip ekonomi sehingga birokrasi sering kali menjadi ajang bisnis bagi para elite politik. Hal ini senada dengan ana¬lisis Karl Marx (Suliantoro, 2003: 6) bahwa evolusi manu¬sia dalam kancah kekuasaan menunjukkan kecenderungan untuk saling menjatuhkan. Kekuasaan yang satu dijatuh-kan oleh kekuasaan lain secara terus-menerus. Menurut Marx, faktor yang menentukan jatuh bangunnya kekuasa¬an adalah kekuatan. Dan kekuatan itu adalah kekuatan ekonomi. Oleh karena itu, ekonomi merupakan basis ke¬kuasaan ( Nurdjana, 2005: 55). Maka tidak mustahil di bidang ini juga banyak terjadi korupsi Korupsi dalam aspek sosial budaya (lihat Wintolo, 2004: 11). Demikian pula pengaruh budaya barat yang terlahirkan melalui kekuatan rasional mengabaikan aspek spiritual (moral) telah membawa kerusakan moral bangsa kita. Kita sering melihat adanya kenakalan remaja sepoerti misalnya: narkoba, perilaku amoral, perkelahian masal, dan lain-lain. b. Hukum dan keadilan Dalam bidang hukum, banyak pula kita lihat bagaimana keadilan di negeri ini telah diperjualbelikan. Banyak orang yang beragama tetapi melakukan tindakan amoral, karena agama tidak dimaknai dan tidak menciptakan nilai Illahiah baginya. Satjipto (2005) mengemukakan “Keadilan sudah dipermainkan di Bumi Pertiwi. Padahal, putusan pengadilan selalu atas nama Tuhan dengan judul “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” . Lebih dari 25 tahun, mantan Hakim Agung Adi Andjoyo S, saat itu, membuka borok di Mahkamah Agung (MA) sehingga perkara-perkara bisa menjadi komoditas yang diperdagangkan. Salah satu pernyataannya kepada publik adalah bagaimana siding-sidang majelis hakim rentan terhadap telinga-telinga yang (turut) mendengar bagaimana putusan atas suatu kasus dibicarakan. Sidang-sidang majelis tidak segera bisa final, tetapi menghasilkan advis. Bagaimanapun “arah dari putusan”, dalam bentuk advis, bisa ditebak. Semuanya bisa diselesaikan dengan uang. Korupsi dalam aspek sosial hokum dan politik tentang penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan (lihat Guna¬wan, 1993: l5) dan korupsi dalam aspek yuridis (lihat Zakiyah, 2002: 6). c. Aspek Ekonomi Pengembangan ilmu ekonomi dan bisnis di Indonesia sejak lahir hingga saat ini masih berkiblat ke Barat (misalnya Amerika) dengan pengetahuan yang dibangun berdasarkan kekuatan rasional. Padahal pengembangan pengetahuan yang terjadi di Amerika selalu didasarkan atas asas keuntungan, dalam arti keuntungan bagi orang-orang yang mengembangkan pengetahuan itu sendiri. Prinsip ini ternyata berkembang sedemikian rupa sehingga secara tidak sadar bahwa hal tersebut berkembang pula pada negara-negara lain yang para teknokratnyaa belajar di Amerika. Akibat dari perspektif seperti ini banyak lulusan universitas di Amerika melakukan tindakan yang kurang terpuji. Bahkan universitas Harvard, yang diakui oleh international dalam bidang akademik, terbukti tidak dapat menjamin kualitas moral lulusannya. Di balik keberhasilan Universitas Harvard, khususnya dalam menghasilkan tokoh-tokoh ekonomi, muncul berbagai skandal ekonomi seperti terjadi di Wall Street yang banyak melibatkan lulusan Harvard (Charles M. Stanton, 1996: 37). Bisnis pada milenium baru ini tampil sebagai sebuah rawa moral, tempat buaya terbesar menggunakan semua jenis penipuan, kecurangan, dan laporan palsu untuk me¬ngenyangkan perutnya sendiri. Oleh karena muak dengan masyarakat yang sebagian besar ber¬buat curang (banyak dari mereka menghindari pajak), atau bahkan muak dengan para pelanggan mereka, para pemimpin perusahaan seperti Enron, WorldCom, dan lain-lain dengan tega mencurangi para pemegang saham mereka sendiri. Dalam kata-kata Plender, "Setiap orang dalam cerita itu [Enron] terlibat dalam konflik-konflik kepen¬tingan yang laten. Dan semua orang-termasuk `anjing-anjing pen¬jaga'-nya-dengan satu dan lain cara telah dibeli oleh Enron." Tak terhitung banyaknya korupsi yang terjadi di Indonesia, tidak lain karena mengabaikan unsur lain yang tidak diperhatikan (spiritual). Korupsi di Indonesia jumlahnya sangat fantastis mencapai Rp 444 triliun, melebihi APBN tahun 2003 Rp 370 triliun (lihat Surga Para Koruptor Jakarta: Penerbit Buku Kompas hal 145). Maraknya korupsi di Indonesia ini menjadikan Indonesia dinobatkan sebagai Negara terkorup peringkat ke-5 dari 146 negara (Transparancy International, 2004). Oleh karenanya tidak mengejutkan jika jumlah korupsi di Indonesia sebesar Rp 444 triliun, melebi APBN tahun 2003 sebesar Rp. 370 triliun ( lihat Surga Para Koruptor,2004: 145) Masih banyak aspek-aspek kehidupan lain diluar yang disebutkan diatas yang menunjukkan kebabrokan moral, seperi pada profesi kedokteran dengan tindakan melakukan oborsi, bidang pemerintahan dengan pungli dan korupsinya. Korupsi dalam aspek kehidupan militer (lihat Samego, 1998: 5) 2.2. Aplikasi ilmu pengetahuan mendasarkan kekuatan rasional dalam auditing Auditing merupakan atau berkaitan dengan akuntansi. Hines berargumen bahwa akuntansi modern terlalu maskulin, keras, konkrit, dan kaku. Untuk mengatasi kelemahan ini, Hines (1992); Triyuwono 1995; 2002; 2004 mengusulkan metodologi penelitian yang berdasarkan epistemolog Tao. Secara metodologi akuntansi modern menitikberatkan kekuatan rasional. Oleh karenanya hal ini hanya berkaitan dengan realitas pisikal. Rasionalitas, dalam istilah modern, selalu berhubungan dengan realitas fisik. Rasionalitas dalam konteks ini sesungguhnya sangat sederhana dan terbatas. Ini mengabaikan segala hal yang nonfisikal, Chwastiak (1999, 429). Dalam auditing selama ini menganggap relitas (kejadian, transaksi atau kegiatan) adalah fisikal. Ini konsisten dengan ilmu pengetahuan yang dibangun dengan kekuatan rasional sebagaimana diuraikan diatas. Dalam auditing, realitas diasarkan pada bukti fisik, misalnya persediaan, uang tunai, ujud aktiva tetap, dan bukti documenter lain. a. Bukti audit (evidence) dan evidential matter Bukti audit merupakan obyek yang digali oleh para auditor. Obyek pengauditan adalah konkrit dan riil yaitu bukti-bukti atau evidence. Hasil dari aktivitas itu adalah kognisi atau pemahaman dan keyakinan akan bukti-bukti pengauditan. Pemahaman dan keyakinan akan bukti¬-bukti pengauditan itulah yang dimaksud dengan evidential matter. Jadi, evidential matter ada di dalam benak auditor, bukan suatu realitas obyektif dan konkrit yang berada di luar kesadaran intelektual dan mental auditor. Evidendal matter tidak sama dengan evidence seperti dikontraskan pada Tabel berikut (lihat Sudibyo, 2001). Tabe12. Pcrbandingan sifat antara Evidential matter dan –Evidence EVIDENTIAL MATTER EVIDENCE 1 Ada di dalam benak atau kesadaran intelektual dan mental auditor Ada di luar benak auditor 2 Abstrak Konkrit, empiris 3 Realitas subyektif Realitas obyektif 4 Realitas substantif Realitas bentuk Termasuk dalam pengertian bukti-bukti ini adalah: - dokumen-dokumen dasar pendukung pembukuan - hasil pembukuan: jurnal, rekening-rekening, dan laporan-laporan - entitas fisik seperti tanah, bangunan, mesin, peralatan dan lain sebagainya. - manusia, ucapannya, dan perbuatannya - aktivitas yang sedang berlangsung - komunikasi tertulis perusahaan yang diaudit dengan pihak ketiga - struktur pengendalian internal perusahaan yang diaudit - dan lain-lain fakta empiris yang relevan dengan pengungkapan informasi dalam laporan keuangan. Bukti-bukti inilah yang telah secara kaprah, institusional dan resmi disalahmengertikan sebagai evidential matter. Reduksi pema¬haman standar evidential matter ini telah berlangsung sekian lama, sejak mulai diperkenalkannya profesi pengauditan di negeri ini. Potensi dampaknya pada kualitas audit dan integritas pelaporan keuangan di Indonesia cukup serius (Sudibyo, 2001: 9) Buku-buku teks yang cukup populer selama tiga dekade terakhir, seperti Cook dan Winkle (1976), Deflies dkk. (1975), Kell dan Ziegler (1980), Taylor dan Glezen (1982), Arens dan Loebecke (1984), Defliese dkk. (1984), Boynton dm Kell (1996), -Guy dkk. (1990), Taylor dan Glezen (1991), tidak membahas secara mendalam apa yang dimaksud dengan evidence dan evidential matter, apa perbedaan antara keduanya, proses mental apa yang harus dilakukan untuk mentransformasikan pengetahuan empirik tentang bukti audit yang konkrit menjadi evidential matter yang abstrak substantif, serta bagaimana moral judgement mengintervensi proses pengembangan evidential matter itu. Bahkan dokumen yang paling otoritatif di bidang ptaktek audit pun, yaitu Statements on Auditing Standards yang dikeluarkan okh American Institute of Certified Public Accountants yang secara berkelanjutan senantiasa dilngkapi dan disempurnakan, juga gagal untuk menyadari adanya permasalahan epistemologis seperti itu. b. Substansi merupakan realitas audit Ilmu pengetahuan yang dibangun dengan kekuatan rasional mengalami krisis sebagai ilmu pengetahuan, dan bahwa dalam kesulitan hidup dewasa ini, ilmu pengetahuan tidak dapat memberi nasihat apa-apa kepada kita. Pendek kata menurut Husserl ilmu pengetahuan senjang dari kehidupan sehari-hari (Hardiman, 1993). Rasionalisme dengan pemikiran dedukasinya sering menghasilkan kesimpulan yang benar bila ditinjau dari alur-alur logikanya namun ternyata sangat bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya. ( Suriasumantri, 1996: 231 ). Demikian pula dalam auditing sebagai ilmu terapan juga semakin rendah kesesuaiannya dengan dunia nyata. Auditing, yang mendasarkan pada rasionalitas telah gagal memahami realitas (evidential matter ), gagal mendeteksi atau menilai suatu substansi. Dalam SPAP dikenal “substance over form . Para auditor memahami dan memaknai realitas yang diaudit barulah sampai pada form (bentuk fisik, dokumen, bukti transaksi). Realitas yang senyatanya – substansi gagal terdeteksi oleh auditor, karena auditor terkungkung pada pandangan linier berupa bukti fisikal dan dokumen formal. Sementara kasus-kasus penggelapan, korupsi atau tindakan illegal sejenis jelas sulit dilacak bukti fisik dan dokumenternya. Akibatnya realitas - tindakan illegal tersebut tak akan tersentuh oleh auditor. 3. Pengembangan ilmu pengetahuan dengan kombinasi rasional dan spiritual Stenberg mengatakan “Salah satu sikap paling membahayakan yang telah dilestarikan oleh budaya kerja modern adalah bahwa kita tidak boleh, dalam situasi apapun, mempercayai suara hati atau persepsi kita. Kita dibesarkan untuk meragukan diri sendiri, untuk tidak mempedulikan intuisi, dan mencari peneguhan dari luar untuk hampir segala sesuatu yang kita perbuat. Pandangan ini menunjukkan dekotomis antara kekuatan rasional dan kekuatan spiritual. Dalam perspektif spiritual, realitas tidak hanya pisik, tetapi juga psikis dan spiritual. Dalam perspektif islam (atau mungkin agama lain), secara hirarhikal ada dan keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, misalnya realitas pisik, realitas psikis, ralitas spiritual, realitas atribut-atribut Tuhan, dan realitas sang Absolut – Tuhan sendiri (Mohamed 1995) Untuk berdaya guna dan bermakna dalam realitas kehidupan, keduanya harus disatukan, tidak dipisahkan. Sebuah kecenderungan klasik, sepanjang sejarah manusia, bahwa konflik-konflik intelektual yang besar, berlangsung menurut oposisi biner (dua posisi yang berseberangan). Sebutlah misalnya, iman yang berhadapan dengan rasio, liberalisme dengan sosialisme, IQ versus SQ, atau juga IQ yang berkompetisi dengan EQ. Dekotomi antara unsur-unsur kebendaan dan unsur agama, antara unsur kasat mata dan tak kasat mata. Materialisme dan versus orientasi unsure-unsur Illahiyah semata. Mereka yang memilih keberhasilan di alam “vertikal” cenderung berfikir bahwa kesuksesan dunia justru adalah yang bisa “dinisbikan” atau sesuatu yang bisa demikian mudahnya ‘dimarginalkan’. Hasilnya, meraka unggul dalam kekhusu’an dzikir dan kenikmatan berkontemplasi, namun menjadi kalah dalam percaturan ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial, politik dan perdagangan dia alam “horizontal” (Ginanjar 2005). Dalam Hadits juga di sabdakan: “Bukanlah Sebaik-baik kamu orang yang bekerja untuk dunianya saja tanpa akheratnya, dan tidak pula orang-orang yang yang bekerja untuk akheratnya saja dan meninggalkan dunianya. Dan sesungguhnya, sebaik-baiknya kamu adalah orang yang bekerja untuk (akherat) dan untuk (dunia)” - Hadits Rusulloh SAW. Di dalam tahapan perkembangan penyelenggaraan ilmu yang dipercepat dan jalin-menjalin (seperti yang terjadi dewasa ini), syarat mutlak untuk menentang bahaya yang menjurus kepada keadaan cerai-berai serta pertumbuhan yang tidak seimbang dari ilmu-ilmu yang ada (Beerling, 1970:1-2) adalah menyeimbangkan subyek dan obyek. Agar pertumbuhan atau pengembangan ilmu akuntansi berjalan seimbang dan memberikan kemanfaatan bagi masyarakat, maka dasar dan arah pengembangannya dapat dilihat dari dua sisi, yaitu subyek (pelaku) dan obyek ilmunya. Subyek atau pelaku haruslah berkepribadian luhur, dan obyek ilmunya haruslah bermanfaat bagi masyarakat. Dalam hubungannya dengan subyek harus dikembangkan konsep kemampuan untuk menguasai hakikat keilmuan dan mempergunakan konsep tersebut untuk membedakan ilmu terhadap cabang-cabang pengetahuan lainnya. Pendekatan seperti ini akan memungkinkan kita untuk meletakkan ilmu dalam perspektif yang benar di tengah perspektif pengetahuan secara keseluruhan. Dengan demikian, akan terbuka kemungkinan untuk menganalisa kaitan ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya seperti moral dan humaniora. Pendekatan seperti diharapkan bukan saja akan menghasilkan ilmuwan yang mempunyai keahlian tinggi tetapi juga makhluk budaya yang berkepribadian luhur; yang mencerminkan pembentukan manusia seutuhnya secara intelektual, moral, dan sosial. (Suriasumantri , 1999: 22) Strategi pengembangan ilmu yang memasukkan aspek moral atau etika ini juga selaras dengan Carl Sagan (1996: 92) yang mengatakan bahwa ilmu tanpa agama (bimbingan moral) adalah buta. Kebutaan moral dari ilmu mungkin membawa manusia ke jurang malapetaka. Menurut Carl Sagan, tak banyak harapan kita untuk menemukan peradaban lain ditengah-tengah galaksi-galaksi ini, sekiranya mereka kemudian saling menghancurkan setelah fase teknologi. Selanjutnya Jujun Suriasumantri mengemukakan bahwa berpikir filsafat berarti berpikir untuk menemukan kebenaran secara tuntas. Analisis filsafati tentang hakekat ilmu harus ditekankan kepada upaya keilmuan dalam mencari kebenaran, yang selanjutnya terkait secara erat dengan aspek-aspek moral, seperti kejujuran. Sedangkan Kenneth Boulding, ahli ekonomi pada Lembaga Ilmu Keperilakuan, Universitas Colorado, dalam Suriasumantri (2001: 241) menemukakan bahwa: sebagian yang lumayan besarnya dari keberhasilan masyarakat keilmuan dalam memajukan pengetahuan adalah berkat tata nilainya, yang menempatkan pengabdian yang obyektif terhadap kebenaran di jenjang yang paling luhur dan kepadanya baik harga diri perseorangan maupun kebanggaan nasional harus diutamakan. Banyak kecaman dilancarkan pada para ilmuwan yang tidak memperhatikan dimensi moral. Mereka yang mengecam antara lain Einstein sendiri yang dengan pedasnya mengecam penyalahgunaan senjata nulkir. Ia melancarkan kecamannya dalam tahun 1950: ‘Kita telah muncul (sebagai pemenang) dari suatu peperangan yang telah memaksa kita menerima standar etika musuh yang begitu merendahkan martabat manusia. Tetapi sebaliknya daripada merasa terbebaskan dari standar musuh itu sehingga leluasa memulihkan kekudusan jiwa manusia dan keamanan rakyat yang tak bertempur, pada hakekatnya kita justru mengambil alih standar yang rendah itu menjadi standar kita sendiri’ (Christianson, 1971). Ikut merasakan kemuakan Einstein, Robert Oppenheimer menentang pengembangan Bom-Hirosima-suatu sikap etis yang berani, yang menyebab kannya diinterogasi bagaikan terdakwa oleh Komisi tenaga Atom, sehingga ia kemudian di cap sebagai “resiko keaamanan’ dan dikucilkan dari segala kegiatan penelitian nuklir. Selanjutnya Robert Stenberg, seorang ahli di bidang Successful Intellegence mengatakan “Bila IQ (rasional) yang berkuasa, ini karena kita membiarkannya berbuat demikian. Dan bila kita membiarkannya berlkuasa, kita telah memilih penguasa yang buruk” ( Damasio, mengutip Cooper dan Sawaf 1998). Uraian diatas menunjukkan bahwa kecerdasan rasional supaya berdaya guna harus dipadukan dengan kekuatan spiritual. Demikian pula dalam auditing, memadukan atau mengkombinasikan antara kekuatan rasional dan spiritual akan berpotensi meningkatkan kualitas auditing. Dibawah ini akan diuraikan beberapa aspek auditing yang masing-masingnya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Dengan memadukan aspek-aspek ini kualitas auditing berpotensi dapat ditingkatkan. Kompetensi Reduksi standar evidential matter menjadi standar bukti audit, sebagaimana terimplikasi dari pembabasan di muka, sangat berpotensi untuk mereduksikan secara signifikan sekali volume pekerjaan yang bersifat intelektual-moral. Auditor akan cenderung untuk memandang sebagian besar pekerjaan audit sebagai pekerjaan teknis yang tidak memerlukan professional judgement. Akibatnya, ia akan cenderung untuk mendelegasikan sebagian besar pekerjaan audit kepada para asistennya, dan akan mempekerjakan asisten dalam jumlah yang terlalu besar dari jumlah yang seharusnya, untuk mengkompensasi penurunan keterlibatannya dalam proses audit. Dengan minimnya profesional judgement, laporan audit yang mestinya merupakan technical and moral statement dari auditor akan tereduksi menjadi hanya technical statement. Dus, auditor melanggar standar umum yang pertama yang mengatakan bahwa "Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis cukup sebagai auditor" (Ikatan Akuntan Indonesia, 1994). Padahal telah diungkapkan di muka bahwa reduksi standar evidential matter sangat berpotensi untuk mendorong auditor melanggar standar umum yang kedua tentang kebebasan sikap mental dan standar umum yang ketiga tentang penggunaan kemahiran keprofesian secara cermat dan seksama. Dengan demikian, reduksi itu sangat berpotensi untuk mendorong pelanggaran terhadap seluruh standar umum dari Standar Profesional Akuntan Publik yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia 1994). Tentu saja kualitas audit yang seperti itu menjadi substandar. Observasi ini menunjukkan, betapa standar evidential matter merupakan standar yang begitu sentral dan terkait erat dengan filosofi audit. Keterlibatan kekuatan spiritual dalam auditing Evidential matter bukanlah realitas yang konkrit obyektif berada di luar kesadaran intelektual-moral auditor. Sebaliknya, ia adalah realitas abstrak-subyektif yang berada di dalam kesadaran intelektual-moral auditor. Pada mulanya auditor berusaha untuk memahami secara obyektif dan rasional substansi ekonomis yang terkandung dibalik bukti-bukti, kemudian mengambil kesimpulan apakah pemahamannya itu mendukung kemasukakalan atau kelogisan informasi keuangan yang sedang diauditnya. Terhadap kesimpulan itu, auditor masih melakukan satu aktivitas mental lagi, yaitu melakukan moral judgement atas integritas pengungkapan informasi tersebut. Jadi dalam proses ini auditor memberikan dua tingkat persaksian. 1. Pertama, otaknya (rasional), yang telah memperoleh pendidikan, pelatihan, serta pengalaman teknis keprofesian yang cukup di bidang akuntansi dan pengauditan, memberikan kesaksian tentang kemasukakalan informasi keuangan yang diaudit. 2. Kedua, hati nuraninya (spiritual), yang insya Allah telah tercerahkan, memberikan kesaksian yang sejujur jujurnya lentang integritas pengungkapan informasi keuangan tersebut. Jadi yang terlibat di dalam audit bukan hanya otaknya saja, yang tidak lebih hanyalah lnstrumen dari dirinya, tetapi dirinya itu sendiri, yaitu jiwa dengan hatl nuraninya, sebagai subyek pengauditan, terlibat secara langsung di dalam proses audit. Proses itulah yang dalam litaratur pengauditan disebut proses pengambilan professional judgement. Hasil dari .proses itu, yaitu pemahaman auditor tentan kemasukakalan informasi keuangan yang diaudit dan keyakinannya tentang integritas pengungkapan informasi itu, adalah evidential matter. Professional judgement tidak hanya menghasilkan kesimpulan logis dari otak auditor, tetapi juga merupakan kesaksian yang jujur dari hati nurani auditor. Oleh karena itu pengambilan prefessional judgement tidak hanya. mensyarakan kompetensi teknis keprofesian saja dari auditor, tatapi juga integritas moral auditor. Kedua .persyaratan ini diatur dalam standar umum dari StarTdar Profesional Akuntan Publik yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (Ikatan Akuntan Indonesia, 1994), yaitu standar umum tentang kompetensi teknis keprofesian dan standar umum tentang kebebasan sikap mental. Sesuai dengan kedua standar umum ini, moralitas, etika, akhlak, atau budi pekerti auditor tidak kalah pentingnya dari penguasaan konseptual dan teknis operasional auditor dalam bidang akuntansi dan pengauditan. Reduksi standar evidential matter, malangnya, sangat berpotensi untuk mendorong pelanggaran terhadap standar umum kebebasan sikap mental yang sarat dengan muatan moral itu (Sudibyo, 2001: 11). Teori kontrak social tentang etika Teori kontrak sosial atau teori stakeholders tentang etika, yang sekarang ini mendominasi wacana akademik tentang etika bisnis, mengklasifikasikan kehendak itu ke dalam kehendak yang bermoral dan kehendak tidak bermoral atas dasar apakah suatu kehendak itu sesuai atau bertentangan dengan kontrak sosial antara yang bersangkutan, bisa individu bisa pula institusi sosial, dan para stakeholdersnya (Fritzsche, 1997; Hummels, 1998; Sillanpa, 1998; Hasnas, 1998) Dalam hal ini kehendak masyarakat atau para stakeholders sebagai kolektivitas manusia mendahului, lebih penting, dan lebih dominan daripada kehendak individu. Bagi profesi auditor independen, stakeholders utamanya adalah para konsumen dari laporan auditnya seperti direksi yang laporan-keuangannya diaudit, para pemegang saham dan calon pemegang saham, para kreditur dan calon kreditur, para investor dan calon investor, dan para karyawan (masing-masing dari perusahaan yang laporan-keuangannya diaudit), Pemerintah, dan masyarakat umum. Para komsumen ini telah menjalin ikatan kontrak sosial dengan profesi auditor independen, yaitu bahwa profesi auditor independen diberi hak hidup di dalam masyarakat dengan kompensasi bahwa profesi itu mampu untuk dengan penuh integritas memberikan kesaksian tertulis akan integritas pelaporan keuangan dari institusi yang diauditnya. Kegagalan memenuhi kontrak ini, merupakan kegagalan moral, dan akan berakibat dibatalkannya kontrak itu melalui suatu proses sosial yang biasanya menyakitkan, dan itu berarti tamatnya riwayat profesi itu. Teori natural atau kompleksitas tentang etika Teori natural atau Eeori kompleksitas tentang etika entitas sosial (Frederick, 1995, 1998) memandang bahwa kemampuan manusia, dan bahkan entitas sosial seperti perusahaan, untuk melakukan ethical judgement itu tumbuh secara alami dari proses evolusinya yang Darwinian di alam. Nilai yang paling mendasar bagi organisme atau entitas hidup apapun, termasuk manusia dan bahkan entitas sosial, untuk bisa bertahan hidup di alam adalah economizing dan power aggrandizing. "Economizing terjadi di alam ketika suatu organisme bertindak ekonomis, yaitu ketika mengambil energi dari lingkungannya dan menggunakan energi itu untuk memprvduksi sesuatu yang bermanfaat langsung bagi dirinya" (Derry dkk., 1999). Power aggrandizing merupakan naluri setiap organisme atau entitas hidup untuk senantiasa memperbesar kekuasaan agar bisa lebih kompetitif dalam bersaing memperebutkan sumberdaya atau snergi di alam. Economizing dan power aggrandizing yang begitu vital bagi keberlangsungan hidup organisme itu harus diterapkan di dalam lingkungan komunitas organ¬isme yang saling tergantung dan saling menghidupi secara mutualistis. Oleh karena itu nilai economizing dan power aggrandizing harus diimplementasikan oleh entitas hidup socara berkeseimbangan dengan nilai kebersamaan antar sesama organisme, yang oleh Frederick (1995) disebut sebagai nilai ecologizing. Adalah nilai erologizing inilah yang menjadi bibit bagi tumbuhnya kesadaran moral melalui proses evolusi di alam. Pada manusia, kemampuan mengembangkan kesadaran moral ini sangat terfasilitasi oleh kemampuan manusia untuk melakukan abstraksi dengan menggunakan simbol-simbol, ke-mampuan yang oleh Frederick (1995) disebutnya sebagai kemampuan techno-symbolic. Moralitas manusia dan entitas sosial, menurut teori ini, adalah buah dari proses evolusi alami yang panjang di alam, dan yang masih terus akan mengalami penghalusan dan penyempurnaan, yang sangat dibutuhkan bagi manusia dan entitas sosial untuk mempertahankan keberlangsungan hidup spesiesnya. Kegagalan untuk mempertahankan dan menyempurnakan moralitas memperbesar resiko bagi manusia dan entitas sosial untuk gagal dalam mempertahankan keberlangsungan hidup spesiesnya melewati proses seleksi alami yang Darwinian. Bagi profesi auditor independen, itu berarti bahwa economizing. dan power aggrandizing yang akan menjadikan dirinya kuat, harus dilakukan dengan tetap mcmpertahankan dan menyem¬purnakan integritas moralnya, jika ingin mempertahankan keberlang¬sungan hidupnya sebagai suatu spesies organisme sosial. Bagi organisme sosial apa pun, profesi auditor independen tak terkecuali, moralitas adalah masalah survival-nya dalam melewati seleksi alam Darwinian. Pendekatan spiritual tentang etika Agama memandang moralitas sebagai suatu altruisme. Jiwa manusia dalam kondisi fitrahnya memang sudah mempunyai kemam¬puan untuk melakukan moral judgement. 2 lebih dari itu, komitmen moral manusia adalah bagian vital dari dedikasinya serta penyerahan dirinya yang total kepada Tuhan,3 sementara dedikasi dan penyerahan diri total itu adalah bagian vital dari kontrak eksistensialnya dengan Tuhan.4 Dari perspektif teologis moralitas atau akhlak adalah suatu paket altruisme yang oleh Tuhan ditawarkan kepada manusia yang mempunyai kebebasan memilih. Jika manusia mau secara ikhlas dan sepenuh hati menerima tawaran itu maka manusia mensucikan, menumbuhkan, mencerahkan, menyejahterakan, dan menyempur¬nakan jiwanya,5 dan jiwa yang berhasil melakukan penyempurnaan diri itu akan masuk surga, suatu medium yang sangat kondusif dan nyaman bagi jiwa untuk tumbuh. Jika tawaran itu ditolak, maka manusia mencemari, -mengkerdilkan, mengkelamkan, mencelakakan, dan mendegradasikan jiwanya,8 dan jiwa yang. gagal ini akan masuk neraka, suatu medium yang kurang kondusif dan sangat tidak nyaman bagi pertumbuhan jiwa. Dalam pada itu Tuhan tidak memaksakan manusia untuk senantiasa memilih pilihan yang positif di antara dua pilihan moi- al dikotomis: Tuhan menghendaki manusia melakukan pilihan yang benar karena kehendaknya sendiri, bukan karena dipaksa oleh Tuhan.9 Dalam perspektif teologis ini, seorang auditor indepen¬den yang tidak jujur dan tidak amanah menjalankan tugas pengauditan, telah membuat kerusakan di muka bumi sekaligus kerusakan pada jiwanya sendiri, dan ia kelak akan celaka masuk neraka. Jadi jelas kiranya bahwa baik ditinjau dari teori kontrak sosial, teori kompleksitas institusi sosial, maupun teologi, mempertahankan moralitas bagi profesi auditor independen, dan grofesi apa pun, adalah kebutuhan profesi itu sendiri, bukan kebutuhan yang dipaksakan dari luar. Dari perspektif teori kontrak sosial, mempertahankan moralitas bagi profesi auditor independen adalah masalah mempertahankan kontrak dengan para stakeholdersnya, yang menjadi basis kontraktual bagi keberadaannya di tengah masyarakat. Dari perspektif teori kompleksitas, moralitas bagi profesi auditor independen adalah masalah mengamankan dirinya dalam perjalanan evolusinya di alam melewati rentetan laten ujian seleksi alam. Dari perspektif teologi, moralitas bagi profesi auditor independen adalah masalah kesejah¬teraan jiwa di dunia dan di akhirat. Mengingat rnempertahankan standar moralitas bagi profesi auditor independen adalah begitu pentingnya, maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah standar bukti audit yang merupakan reduksi dari standar evidential matter itu mendukung profesi auditor independen untuk senantiasa memperta¬hankan moralitas, teruama integritasnya sebagai seorang profesional, yang merupakan kandungan pokok dari standar umum kebebasan sikap mental. _____________________ 2. "Demi jiwa dan penyempuraannya; Niscaya diilhamkan kepada jiwa itu jalan keburukannya dan jalan kebaikannya" (AI-Qur'an, Surat Asy-Syamsi: 7,8) 3. "Agama adalah akhlak yang elok" (Hadis Nabi) 4 .. Dan ketika Tuhanmu menurunkan keturunan dari punggung anak Adam serta mengambil kesaksian mereka {dan bersabda): Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka bersaksi: Ya kami bersaksi ........." (Al-Qur'an, surat Al-a'raf: 172) 5 "Sungguh beruntung siapa yang mensucikan dan menumbuhkan jiwanya" (Al-Qur'an. Surat rLsy-Syamsi: 9) Standar bukti menghendaki auditor untuk mengumpulkan bukti-¬bukti konkrit, malitas obyaktif yang berada di luar benaknya, sementara standar evidential matter menuntut auditor untuk tidak hanya sekedar mengumpulkan bukti-bukti konkrit empiris, tapi lebih jauh dari itu untuk juga memperoleh pemahaman obyektif dan keyakinan subyektif yang mendukung kesimpulan dan kesaksiannya tentang integritas pengungkapan informasi keuangan. Bagi standar evidential matter, pengumpulan bukti-bukti konkrit hanyalah tujuan instrumental, sementara tujuan ultimatenya adalah diperolehnya pemahaman yang benar dan keyakinan hati nurani yang jernih Sentang integritas .pengungkapan informasi keuangan yang diauditnya. Jelas sekali bahwa suatu reduksi yang serius telah terjadi dalam standar bukti. Reduksi itu akan mendorong auditor untuk hanya mengumpulkan bukti-bukti konkrit, dan tidak mendorong auditor untuk memahami secara benar substansi ekonomis di balik formalitas bukti-bukti itu, serta tidak mendorong hati nurani auditor untuk senantiasa terlibat di dalam proses audit dengan memberikan kesaksian yang sejujur-jujurnya tentang integritas informasi keuangan yang diauditnya. Padahal, keterlibatan serta persaksian hati nurani yang terus menerus dan sejujur-jujurnya dalam proses audit adalah kandungan pokok dari independence in fact dalam standar umum kebebasan sikap mental. Dengan hanya menuntut pengumpulan bukti¬bukti, maka standar evidence kurang mendorong auditor untuk secara sadar dan sengaja melakukan professional judgement, suatu prosedur audit yang mentransformasikan bukti yang konkrit-empiris menjadi evidential matter yang abstrak-substantif. Jika profesional judgement itu tidak dilakukan secara sadar dan sengaja, maka kehadiran hati nurani dalam proses audit hanya terjadi secara kebetulan (by accident) saja. Artinya, kebebasan sikap mental yang berarti kebebasan suara hati nurani tidak terjadi karena kesengajaan dan komitmen, melainkan karena peristiwa-peristiwa mental kebetulan yang sifatnya acak. Pada tingkat yang hakiki itu sudah merupakan pelanggaran in fact terbadap independence in fact dati standar umum kebebasan aikap mental. Dengan kadang melakukan professional judgement secara sengaja dan kadang pula tidak, maka satu lagi standar umum pengauditan juga dilanggar, yaitu standar umum tentang penggunaan kemahiran profesional secara cermat dan seksama, sebab pengambilan professional judgement yang hanya secara icebetulan dan acak tentu tidak akan seksama. Integritas pelaporan keuangan Di muka Eelah ditunjukkan bahwa evidential matter adalah realitas substantif bukan realitas bentuk. Oleh karena itu tidak mungkin bagi evidential matter untuk diikat oleh formalitas legal. la tidak mungkin untuk legal maupun untuk tak legal. Yang bisa diikat oleh formalitas legal adalah evidence (bukti), bukannya evidential matter. Di suatu lingkungan hukum yang baik, legalitas bukti pada umumnya mendukung evidential matter menjadi lebih evidential. Akan tetapi, di lingkungan hukum yang tidak baik dan tidak efektif seperti Indonesia dewasa ini, legalitas formal bukti justru kadang dipakai oleh pihak-pihak tertentu untuk menutupi substansi ekonomis yang sebenarnya dari transaksi atau peristiwa yang didokumentasikan oleh bukti. Oleh karena itu pemahaman dan keyakinan auditor yang dihasilkan oleh proses pengambilan professional judgement atas bukti-bukti tidak boleh terkungkung oleh atau terjebak pada legalitas bukti. Yang penting adalah pemahaman dan keyakinannya tentang substansi ekonomis di balik bukti-bukti yang diperiksanya. Jika dalam akuntansi keuangan berlaku prinsip substance over forms yang berarti substansi ekonomis suatu peristiwa atau transaksi lebih penting daripada formalitas legalnya (Patton dan Littleton, 1940), maka paralel dengan itu dalam pengauditan berlaku prinsip yang sejalan: substansi ekonomis evidential matter lebih penting daripada forrnalitas legal bukti-bukti. Jika karena reduksi itu mindset auditor .telah terjebak .pada .persimbulan dan formalitas legal bukti-bukti, maka adakah dampak keperilakuan dari keterjebakan itu pada praktek pelaporan keuangan di Indonesia? Secara normatif, penyusunan laporan kcuangan di Indonesia harus berpedoman pada Standar Akuntansi Keuangan yang diterbitkan oleh Akuntan Akuntan Indonesia. Akan tetapi, untuk perusahaan-perusahaan yang laporan keuangannya biasa diaudit bleh auditor independen yang auditnya berpedoman pada Standar Profesional Akuntan Publik, di samping berpedoman pada Standar Akuntansi keuangan dalam penyusunan laporan keuangannya, mereka diduga juga akan responsif terhadap mindset auditor yang sudah terjebak pada persimbulan dan formalitas legal itu. Karena ingin memperoleh opini Wajar `I'anpa Syarat (WTS) dari auditor yang sudah terjebak itu, maka mereka diperkirakan menjadi kurang peduli pada apakah pembukuannya betul-betul merefleksikan substansi ekonomis bisnisnya. Sumberdaya pembukuan akan mereka alokasikan untuk memenuhi keinginan auditor akan simbul-simbul dan formalitas legal itu, dalam jumlah yang melebihi porsi yang wajar. Bahkan bisa terjadi, pembukuan dan pelaporan yang sudah benar, dalam arti sudah sesuai socara substantif dengan Standar Akunt.ansi Keuangan, diubahnya agar sesuai dengan keinginan auditor. Prinsip pembukuan yang dicerapkannya bukan lagi substance over forms, melainkan forms over substance. Jika sebagai dampak reduksi dari standar evidential matter itu laporan keuangan menjadi kurang merefleksikan substansi ekonomis perusahaan, dan laporan itu karena reduksi itu kemudian diaudit dengan cara yang substandar, maka tentunya integritas pelaporan keuangan di Indonesia menjadi ikut tereduksi secara serius pula. Auditing sebagai ilmu pengetahuan yang mengandalkan kekuatan rasional yang dibangun selama ini hanya memahami realitas (obyek yang diaudit) dari bukti fisikal baik yang berupa dokumenter maupun non dokumenter (barang berujud). Dengan pemahaman ini kinerja auditing senjang dari realitas – substansi, sehingga tidak menutup kemungkinan menghasilkan form over substance . Untuk memotret subtansi sebagai obyek audit tidak cukup dengan dasar kekuatan rasional, ia memerlukan memerlukan kekuatan spiritual. Dengan memadukan kekuatan keduanya maka kualitas audit akan dapat memotret sesuai dengan dunia nyata sehingga substance over form bukan lagi menjadi menara gading. 4.Kesimpulan Salah satu bekal hidup yang harus selalu di upgrade adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Seperti yang kita tahu dewasa ini ilmu pengetahuan begitu meningkat drastis. Ini artinya kita pun dituntut untuk terus meningkatkan diri kita supaya tidak kadaluwarsa. Namun kenyataan yang ada banyak di antara kita yang masih saja jalan ditempat, dan merasa nyaman dengan kondisinya. Saya sering kali menjumpai beberapa orang yang kalau bicara tentang tujuan hidup begitu luar biasa. Tapi sayangnya hal itu tidak didukung dengan kemampuan atau senjata yang memadai. Saya melihat mereka punya niat, tapi tidak diimbangi upaya yang sepadan. Sehingga mereka pun tetap saja begitu, jalan di tempat tanpa melakukan sesuatu hal yang berarti dalam hidupnya. Terus apa yang harus kita lakukan? Ini salah pertanyaan yang ingin saya jawab dalam tulisan ini. Salah satu tindakan yang harus kita lakukan adalah teruslah untuk menuntut ilmu. Bukan hanya ilmu yang kita pelajari di sekolah, tapi juga ilmu lain yang akan menjadikan hidup kita lebih bermakna di dunia dan di akhirat kelak. Kenapa ilmu? Karena dengan ilmu semua akan menjadi mudah. Salah satu pesan Ali Bin Abu Thalib kepada Kumail Bin Ziyad yang saya kutip dari bukunya K.H Toto Tasmara (2002) adalah sebagai berikut: “Wahai kumail, ilmu lebih utama dari pada harta. Ilmu menjagamu, sedangkan kau harus menjaga hartamu. Harta akan berkurang bila kau nafkahkan, sedangkan ilmu bertambah subur bila kau nafkahkan. Demikian pula budi yang ditimbulkan dengan harta akan hilang dengan hilangnya harta”. Pesan tersebut mengisyaratkan bahwa ilmu itu sangat penting bagi kehidupan kita. Kyai, guru, dosen, pengusaha, mahasiswa, peneliti, aktor, penyanyi, programmer dan semua orang, semua membutuhkan ilmu. Dan dari ilmu itu mereka telah membuat karya-karya besar yang menjadikan hidup menjadi lebih hidup. Tentunya dalam hal ini adalah ilmu-ilmu yang bermanfaat, bukan sebaliknya. Di dunia ini banyak sekali ilmu, apakah kita harus menguasai semuanya? Menurut saya pribadi tidak harus, karena diri kita tidak mungkin bisa menyerap semua hal dalam diri kita. Tapi minimal ada beberapa ilmu yang wajib kita dalami. Pertama ilmu agama, ini pondasi dari segala ilmu. Pondasi harus kuat supaya kokoh dan tidak mudah tumbang, jika harus ada gempa atau bencana yang lain. Kedua, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang yang Anda minati, pilih beberapa yang Anda suka dan mampu Anda lakukan. Jangan semua ilmu Anda serap secara mendalam, karena tidak mungkin Anda ahli dalam semua bidang. Misalnya Anda guru maka yang perlu dipelajari adalah ilmu tentang keguruan dan beberapa ilmu pendukung. Ilmu pendukung ini bisa kemampuan public speaking, kreativitas, inovasi pembelajaran, dan teknologi pendidikan dan lain-lain. Silahkan sesuaikan dengan kebutuhan Anda. Ketiga, adalah ilmu komunikasi dan pergaulan. Ini penting untuk meningkatkan kesuksesan dalam segala hal. Tanpa ilmu komunikasi dan pergaulan yang baik, maka akan sulit bagi kita untuk menjadi pribadi yang lebih unggul. Keempat adalah ilmu tentang kesehatan. Sehat itu mahal, sehat itu penting dan sehat itu akan mempengaruhi stabilitas emosi, spirit dan kecerdasan intelektual Anda. Minimal empat hal itulah yang haru terus kita kembangkan dan kita gali. Dengan begitu Insya Allah kita akan menjadi pribadi yang siap bertempur menghadapi tantangan zaman yang begitu keras. Satu motto kita “ilmu pengetahuan adalah kekuatan”. REFERENSI Agustian, Ary Ginanjar, (2005) Rahasian Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual, ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Arga Arens, A.A. and J,. Loebecke, (1984), Auditing: an Integrated Approach , 3nd Ed., Prentice Hall 3rd Ed.,Anglewood Cliffs, New Jersey. Boynton, W.C. and W-.G. Kell, (1996), Modern Auditing , 6th Ed., John Wiky &Sons, New York. Beerling., dkk, (1970). “Inleiding tot de Wetenschapleer”. Terjemahan. Soedjono Soemargono. Pengantar Filsafat Ilmu . Yogyakarta: Tiara Wacana. Brown, M. (1971). “The Social Responsibility of Scientists”. dalam Wilardjo. Ilmu dan Humaniora. Dalam Jujun S. Suriasumantri. 2001. Ilmu dalam Perspektif Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal. 243-246. Capra, Fritjof. (1975). The Tao of Physics . New York: Bantam Book. Chwastiak, Michele. (1999). Deconstructing the principle-agent model: a view from the bottom. Critical Perspectives on .Accounting. Vol. 10. No. 4: 425-441. Cook, J.W. and G.W. Winkle, (1976), Auditing: Philosophy and Technique, Hoghton Miflin Co., Boston. Cooper, Robert K., Ph.D., dan Ayman Sawaf, ( 1998). Executive EQ: Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, Christianson, GE., (1971). “Nuclear Tyrani and Divine Right of Kings’ Bull”. dalam Wilardjo. Ilmu dan Humaniora. dalam Jujun S. Suriasumantri. 2001. Ilmu dalam Perspektif Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal. 243-246. Damasio, “Descarte’ Error: Emotion, Reason, and The Human Brain ” mengutip Cooper dan Sawaf 1998. Defliese, P., HL. Jaenicke, J.D. Sullivan, and R.A. Gnospclius, (1984), Montgomery 's Auditing , 10th -Ed., The Ronald Press Co., New York. Defliese, P.-, K.P. Johnson, R.K. MacLeod, (1975), Montgomery 's Auditing , 9`b Ed., The Ronald Press Co., New York. Frederick, D.J., 1997, Business Ethics: a Global Managerial - Pers¬pective , McGraw-Hill-Co. Inc., New York. Guna¬wan, I., (1993), Postur Korupsi di Indonesia, Tinjauan Yuridis Sosiologis Budaya dan Politik. Bandung: Angkasa. Hardiman, Francisco Budi.(1993). Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, , Edisi Kedua. Yogyakarta: Kanisius. Hummels, H., (1989), “Organizing Ethics: A Stakeholder Debate”, Journal of Business Ethics , Vol. 17, Iss.13, Oct., p. 1403-1419. Ikatan Akuntan Indonesia, (2004), Standar Profesional Akuntan Publik . Jakarta: Penerbit Salemba. Kell, W.G. and R.E. Ziegler, (1980), Modern Auditing , Warren, - Gorham & Lamont Inc., Boston “Ketika Maling Kuras Kekayaan Kegara” (2004) Surga Para Koruptor Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Mohamed. Yasien. (1995). Fitrah and its bearing on the principles of psychology. The American Journal of Islamic Sosial Sciences (l2 (1): 1-17. Nurdjana, I.G.M (2005). “Kekuasaan, moralitas, dan penegakan hokum”. Korupsi Dalam Praktik Bisnis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama: Persinger, M.A. "Feeling of Past Lives as Expected Perturbations Within the Neurocognitive Processes That Generate a Sense of Self: Contributions from Limbic Lability and Vectorial Hemisphericity", Perceptual and MotorSkills, 83, no. 3, bagian 2 (Desember 1996): 1107-1121. Sagan, Carl., (1973) “The Cosmic Connection”. dalam Suriasumantri. 1996. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer . Jakarta: Pustaka Sinar Harapan: 92. Samego, I., (1998), Bila ABRI Berbisnis, Menyingkap Data dan Kasus Penyimpangan dalam Praktik Bisnis Kalangan Militer, Bandung: Mizan. Sillanpaa, M., (1998), The Bodyshop Values Report- Toward Integrated Stakeholder Auditing, J. of Business Ethics, Vul. 17, Iss. 13, Oct., p. 1443-1456. Stanton, Charles M. (1996), “Teori Pengetahuan dan Perannya dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan” dalam Thoyibi (Ed). Filsafat Ilmu dan Perkembangannya. Surakarta: UniversityasMuhammadiyah. Hal. 26-51. Sudibyo, Bambang, (2001). “Telaah Epistemologis Standar Evidential Matter serta Implikasinya pada Kualitas Audit dan Integritas Pelaporan Keuangan”, Makalah Seminar Nasional Akuntan Indonesia, Surabaya 19-21 Th 2001, Suriasumantri, Jujun S., (1999) “Hakikat Dasar Keilmuan”. Dalam Thoyibi (Ed). Filsafat Ilmu dn Perkembangannya. Surakarta: Universtras Muhammadiyah. Hal. 1-16. _________, (1996). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer . Pustaka Sinar Harapan Surga Para Koruptor Jakarta: Penerbit Buku Kompas hal 145. Suriasumantri, Jujun S. (1996), Filsafat Ilmu sebuah pengantar Populer . Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 231 ) Taylor, D.H. and G.W. Glezen, 1982, Auditing: Integrated Concept and Procedures , 2nd Ed., John Wiley & Sons, New York. 1991, Auditing: Integrated Concept and Procedures, S'h E- d., John Wiley & Sons, New York. Business & "Society, Vol. 35, p. 520- Triyuwono, Iwan. (1996). “Teori Akuntansi Berhadapan Nilai-Nilai Keislaman”, Jurnal Ulumul Qur'an, NoS, Vol VI. Triyuwono, Iwan. (1996). Teori Akuntansi Berhadapan Nilai-Nilai Keislaman, Jurnal Ulumul Qur'an, NoS, Vol VI. Triyuwono, Iwan. (1997). _Akuntan dan Akuntansi:Kajian Kritis Perspektif Postmodernisme, Makalah tidak diterbitkan, Malang. Winarta, Frans H, “Mutlah Perlu Reformasi MA” . Kompas, Jum’at 18 Nopember 2005. : Wintolo, J., Korupsi Reformasi dan Refolisi, Kedaulatan Rakyat, 16 April 2004: 1-4) Zakiyah, W., Widoyoko, D., Kusuma, I., Edi, R.Y., (2002), Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, Indonesia Corruption Watch: Jakarta. Zohar dan Marshall, (2005). Spiritual Capital; memberdayakan SQ di Dunia Bisnis. Bandung: Mizan.