Belajar : Iqro’
Tekstual : dari pembelajaran
Kontekstual : dari pengalaman riil diri sendiri / orang lain
Berdasarkan dimensi :
Waktu : dari ayunan sampai liang lahat
Ruang : belajarlah walau sampai ke negeri China
Berdasarkan substansi :
Hard skills : kegiatan intra / ko kurikuler
Soft skills : kegiatan ekstra/non kurikuler
Original Source : Kumpulan Widget Blogger Indonesia http://hujangede.blogspot.com/2011/05/kumpulan-widget-blogger-indonesia.html#ixzz1gxFzixSi
Senin, 19 Desember 2011
Motivasi
Sepuluh Ciri Orang yang Berfikir Positif
Semua orang yang berusaha meningkatkan diri dan ilmu pengetahuannya pasti tahu bahwa hidup akan lebih mudah dijalani bila kita selalu berpikir positif. Tapi, bagaimana melatih diri supaya pikiran positiflah yang 'beredar' di kepala kita, tak banyak yang tahu. Oleh karena itu, sebaiknya kita kenali saja dulu ciri-ciri orang yang berpikir positif dan mulai mencoba meniru jalan pikirannya.
1. Melihat masalah sebagai tantangan
Bandingkan dengan orang yang melihat masalah sebagai cobaan hidup yang terlalu berat dan bikin hidupnya jadi paling sengsara sedunia.
2. Menikmati hidupnya
Pemikiran positif akan membuat seseorang menerima keadaannya dengan besar hati, meski tak berarti ia tak berusaha untuk mencapai hidup yang lebih baik.
3. Pikiran terbuka untuk menerima saran dan ide
Karena dengan begitu, boleh jadi ada hal-hal baru yang akan membuat segala sesuatu lebih baik.
4. Mengenyahkan pikiran negatif segera setelah pikiran itu terlintas di benak
'Memelihara' pikiran negatif lama-lama bisa diibaratkan membangunkan singa tidur. Sebetulnya tidak apa-apa, ternyata malah bisa menimbulkan masalah.
5. Mensyukuri apa yang dimilikinya
Dan bukannya berkeluh-kesah tentang apa-apa yang tidak dipunyainya
6. Tidak mendengarkan gosip yang tak menentu
Sudah pasti, gosip berkawan baik dengan pikiran negatif. Karena itu, mendengarkan omongan yang tak ada juntrungnya adalah perilaku yang dijauhi si pemikir positif.
7. Tidak bikin alasan, tapi langsung bikin tindakan
Pernah dengar pelesetan NATO (No Action, Talk Only), kan ? Nah, mereka ini jelas bukan penganutnya.
8. Menggunakan bahasa positif
Maksudnya, kalimat-kalimat yang bernadakan optimisme, seperti "Masalah itu pasti akan terselesaikan," dan "Dia memang berbakat."
9. Menggunakan bahasa tubuh yang positif
Di antaranya adalah senyum, berjalan dengan langkah tegap, dan gerakan tangan yang ekspresif, atau anggukan. Mereka juga berbicara dengan intonasi yang bersahabat, antusias, dan 'hidup'.
10. Peduli pada citra diri
Itu sebabnya, mereka berusaha tampil baik. Bukan hanya di luar, tapi juga di dalam.
Semua orang yang berusaha meningkatkan diri dan ilmu pengetahuannya pasti tahu bahwa hidup akan lebih mudah dijalani bila kita selalu berpikir positif. Tapi, bagaimana melatih diri supaya pikiran positiflah yang 'beredar' di kepala kita, tak banyak yang tahu. Oleh karena itu, sebaiknya kita kenali saja dulu ciri-ciri orang yang berpikir positif dan mulai mencoba meniru jalan pikirannya.
1. Melihat masalah sebagai tantangan
Bandingkan dengan orang yang melihat masalah sebagai cobaan hidup yang terlalu berat dan bikin hidupnya jadi paling sengsara sedunia.
2. Menikmati hidupnya
Pemikiran positif akan membuat seseorang menerima keadaannya dengan besar hati, meski tak berarti ia tak berusaha untuk mencapai hidup yang lebih baik.
3. Pikiran terbuka untuk menerima saran dan ide
Karena dengan begitu, boleh jadi ada hal-hal baru yang akan membuat segala sesuatu lebih baik.
4. Mengenyahkan pikiran negatif segera setelah pikiran itu terlintas di benak
'Memelihara' pikiran negatif lama-lama bisa diibaratkan membangunkan singa tidur. Sebetulnya tidak apa-apa, ternyata malah bisa menimbulkan masalah.
5. Mensyukuri apa yang dimilikinya
Dan bukannya berkeluh-kesah tentang apa-apa yang tidak dipunyainya
6. Tidak mendengarkan gosip yang tak menentu
Sudah pasti, gosip berkawan baik dengan pikiran negatif. Karena itu, mendengarkan omongan yang tak ada juntrungnya adalah perilaku yang dijauhi si pemikir positif.
7. Tidak bikin alasan, tapi langsung bikin tindakan
Pernah dengar pelesetan NATO (No Action, Talk Only), kan ? Nah, mereka ini jelas bukan penganutnya.
8. Menggunakan bahasa positif
Maksudnya, kalimat-kalimat yang bernadakan optimisme, seperti "Masalah itu pasti akan terselesaikan," dan "Dia memang berbakat."
9. Menggunakan bahasa tubuh yang positif
Di antaranya adalah senyum, berjalan dengan langkah tegap, dan gerakan tangan yang ekspresif, atau anggukan. Mereka juga berbicara dengan intonasi yang bersahabat, antusias, dan 'hidup'.
10. Peduli pada citra diri
Itu sebabnya, mereka berusaha tampil baik. Bukan hanya di luar, tapi juga di dalam.
mutiara 19
" Untuk bibir yg menarik, ucapkanlah perkataan yg baik.... "
" Untuk pipi yg lesung, tebarkanlah senyum ikhlasmu pd orang2 yg kamu jumpai... "
" Untuk mata indah menawan, lihatlah selalu kebaikan orang lain...."
Untuk tubuh yg langsing, sisihkan makananmu bagi fakir miskin...."
"Untuk jemari tangan yg lentik menawan, hitunglah dosa dan amal salehmu untukNya...."
"Untuk wajah putih bercahaya, basuhlah muka dengan air yg bersih untuk berwudhu...."
Kecantikan fisik akan pudar oleh waktu, tetapi kecantikan perilaku tak akan pudar meski oleh kematian .
" Untuk pipi yg lesung, tebarkanlah senyum ikhlasmu pd orang2 yg kamu jumpai... "
" Untuk mata indah menawan, lihatlah selalu kebaikan orang lain...."
Untuk tubuh yg langsing, sisihkan makananmu bagi fakir miskin...."
"Untuk jemari tangan yg lentik menawan, hitunglah dosa dan amal salehmu untukNya...."
"Untuk wajah putih bercahaya, basuhlah muka dengan air yg bersih untuk berwudhu...."
Kecantikan fisik akan pudar oleh waktu, tetapi kecantikan perilaku tak akan pudar meski oleh kematian .
Selasa, 06 Desember 2011
Kata Mutiara 9
Bukanlah kesulitan yang membuat kita takut,tapi ketakutan yang membuat kita sulit karena itu jangan pernah mencoba untuk menyerah maka jangan katakan pada Allah aku punya masalah tapi katakan pada masalah aku punya Allah yang maha segalanya....SEMANGAT...
Sabtu, 03 Desember 2011
MUTIARA F3
Maher Zain - Ya Nabi Salam Alayka
Bukan karena hari ini indah kita bahagia,tapi karena kita bahagia hari ini menjadi indah.
Bukan karena tak ada rintangan kita menjadi optimis , tapi karena kita optimis rinyangan menjadi tak terasa.
Bukan karena mudah kita yakin bisa , tapi karena kita yakin bisa maka semuanya menjadi mudah.
Bukan karena semua baik kita tersenyum , tapi karena kita tersenyum maka semua menjadi baik.
Tak ada hari yang menyulitkan kecuali kita sendiri yang membuatnya sulit.
SEMANGAT ALLAH menciptakan setiap orang luar biasa..............amien
Kamis, 01 Desember 2011
PHBS
Promosi Kesehatan Dalam Pencapaian Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Rumah Tangga
PHBS di Rumah Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu, mau dan mampu mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat.
PHBS di Rumah Tangga dilakukan untuk mencapai Rumah Tangga ber PHBS yang melakukan 10 PHBS yaitu :
1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan
2. Memberi ASI ekslusif
3. Menimbang balita setiap bulan
4. Menggunakan air bersih
5. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun
6. Menggunakan jamban sehat
7. Memberantas jentik dd rumah sekali seminggu
8. Makan buah dan sayur setiap hari
9. Melakukan aktivitas fisik setiap hari
10. Tidak merokok di dalam rumah
http://www.promosikesehatan.com/?act=program&id=12
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Rumah Tangga
PHBS di Rumah Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu, mau dan mampu mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat.
PHBS di Rumah Tangga dilakukan untuk mencapai Rumah Tangga ber PHBS yang melakukan 10 PHBS yaitu :
1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan
2. Memberi ASI ekslusif
3. Menimbang balita setiap bulan
4. Menggunakan air bersih
5. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun
6. Menggunakan jamban sehat
7. Memberantas jentik dd rumah sekali seminggu
8. Makan buah dan sayur setiap hari
9. Melakukan aktivitas fisik setiap hari
10. Tidak merokok di dalam rumah
http://www.promosikesehatan.com/?act=program&id=12
Senyum
Senyum adalah pesan kebahagiaan yang paling cepatsampai ke hati. Jangan menunggu bahagia untuk bisa tersenyum tetapi tersenyumlah untuk menjemput kebahagiaan itu, senyum adalah uang muka dari sebuah persaudaraan , ia syarat kilat yang membawa salam perdamaian dan ketulusan,
maka tersenyumlah baik dikala kita sedih maupun bahagia
maka tersenyumlah baik dikala kita sedih maupun bahagia
Senin, 14 November 2011
Kata Mutiara FR
Orang yang hebat tidak dihasilkan melalui kemudahan, kesenangan, dan ketenangan . Mereka dibentuk melalui kesukaran, pantangan serta air mata. Ketika engkau mengalami sesuatu yang sangat berat dan merasa ditinggalkan sendiri dalam hidup ini, berserah kepada Allah SWT, tetapi bukan berarti kita pasrah sepenuhnya, ikhtiar menghadapi semua yang ada, berusaha dan berdoa membuat hidup ini lebih berprinsip.
Jumat, 14 Oktober 2011
Sabtu, 08 Oktober 2011
Senin, 18 Juli 2011
Kata Mutiara 3
Sesuatu yang tampaknya indah janganlah mudah memperdayakan kita . Demikian juga dalam suatu pergaulan , janganlah kita tertipu dengan penampilan luar orang lain. Bergaullah dengan orang - orang yang hatinya baik , karena dengan bergaul dengan orang ariflah kita bisa meetik pelajaran berharga dari mereka.
kata mutiara
A wise man is never less alone than when alone
Orang arif tentulah banyak disukai oleh orang lain, dimana denan kearifannya akan membuat orang yang melihatnya timbul rasa kagum dan hormat, tidak ada waktu luang sedikitpun baginya karena ia senantisa berbuat apa saja yang bisa mendatangkan manfaat bagi orang lain. Dengan demikian ia tidak mungkin pernah sedikitpun merasa kesepian.............................
Rabu, 13 Juli 2011
Perempuan sejati
Cara memilih Perempuan Sejati ...............
Perempuan Sejati bukanlah dilihat dari parasnya yg rupawan,
Tetapi dari kasih sayangnya pada orang disekitarnya
Perempuan Sejati bukanlah dilihat dari suaranya yang lantang,
Tetapi dari kelembutannya mengatakan kebenaran
Perempuan Sejati bukanlah dilihat dari jumlah sahabat di sekitarnya,
Tetapi dari sikap bersahabatnya pada generasi muda bangsa
Perempuan Sejati bukanlah dilihat dari bagaimana dia dihormati ditempat
bekerja,
Tetapi dari bagaimana dia dihormati di dalam rumah
Perempuan Sejati bukanlah dilihat dari kerasnya hati,
Tetapi dari sikap bijaknya memahami persoalan
Perempuan Sejati bukanlah dilihat dari dadanya yang bidang,
Tetapi dari hati yang ada dibalik itu
Perempuan Sejati bukanlah dilihat dari banyaknya laki - laki yg memuja,
Tetapi komitmennya terhadap laki – laki yang dicintainya
Perempuan Sejati bukanlah dilihat dari masalah yang dibebankan,
Tetapi dari tabahnya dia menghadapi lika-liku kehidupan
Perempuan Sejati bukanlah dilihat dari kerasnya membaca kitab suci,
Tetapi dari konsistennya dia menjalankan apa yang ia baca
- Jadi Jangan Sampai Salah Memilih Ya!!!
Perempuan Sejati bukanlah dilihat dari parasnya yg rupawan,
Tetapi dari kasih sayangnya pada orang disekitarnya
Perempuan Sejati bukanlah dilihat dari suaranya yang lantang,
Tetapi dari kelembutannya mengatakan kebenaran
Perempuan Sejati bukanlah dilihat dari jumlah sahabat di sekitarnya,
Tetapi dari sikap bersahabatnya pada generasi muda bangsa
Perempuan Sejati bukanlah dilihat dari bagaimana dia dihormati ditempat
bekerja,
Tetapi dari bagaimana dia dihormati di dalam rumah
Perempuan Sejati bukanlah dilihat dari kerasnya hati,
Tetapi dari sikap bijaknya memahami persoalan
Perempuan Sejati bukanlah dilihat dari dadanya yang bidang,
Tetapi dari hati yang ada dibalik itu
Perempuan Sejati bukanlah dilihat dari banyaknya laki - laki yg memuja,
Tetapi komitmennya terhadap laki – laki yang dicintainya
Perempuan Sejati bukanlah dilihat dari masalah yang dibebankan,
Tetapi dari tabahnya dia menghadapi lika-liku kehidupan
Perempuan Sejati bukanlah dilihat dari kerasnya membaca kitab suci,
Tetapi dari konsistennya dia menjalankan apa yang ia baca
- Jadi Jangan Sampai Salah Memilih Ya!!!
Sabtu, 09 Juli 2011
STUDY
Awalilah harimu dengan sholat malam dan sholat shubuh kemudian bacalah Al Qur’an, dan setelah makan pagi jangan lupa sikat gigi dan mandi karena mandi itu membangkitkan semangat. Pakailah seragam yang bersih dan islami. Bawalah perlengkapan belajarmu yang telah dipersiapkan sejak tadi malam, kemudian bergegaslah pergi ke sekolah, jangan terbiasa terlambat!
Dengarkan dan perhatikan dengan baik semua keterangan gurumu di kelas dari jam pertama hingga jam terakhir.
Gunakan waktu siang hari untuk istirahat secukupnya.
Setelah sholat Ashar sampai Maghrib, luangkan waktumu untuk belajar selama setengah jam.
Kemudian istirahatlah, atau olah-raga ringan seperti jalan-jalan, main tenis atau bersih-bersih tempat-tinggalmu.
Setelah Maghrib bacalah Al Qur’an dan Al Ma’tsurat selama satu jam.
Kemudian istirahatlah untuk makan malam dan sholat Isya.
Seusai sholat Isya sampai jam 22.00 belajarlah dengan diselingi istirahat selama 10 menit (lakukan relaksasi ringan).
Petunjuk Dalam Mengulangi Pelajaran:
Jangan mengulangi pelajaran sedangkan akhi dan ukhti dalam keadaan bingung/lelah, karena hal itu hanya membuang waktu saja.
Berusahalah untuk konsentrasi dan memusatkan pikiran pada saat mengulangi pelajaran dan jangan sampai disibukkan oleh suasana di sekeliling anda.
Ulangilah pelajaran-pelajaran yang bersifat teoritis dan yang membutuhkan hafalan di pagi hari di kala pikiranmu masih jernih, adapun pelajaran yang menyita pikiran seperti ilmu pasti; matematika, maka akhirkanlah karena ia membutuhkan konsentrasi penuh.
Jangan mencoba pindah dari pelajaran ke pelajaran lainnya sebelum selesai pelajaran yang pertama.
Jangan biasakan menghafal tanpa pemahaman, karena hal itu seperti Burung Beo (Verbalisme).
Ringkaslah hal-hal pokok dan point-point inti dalam satu pelajaran atau berilsh tanda khsusu seperi ‘tanda merah’ agar mudah terlihat dengan jelas.
Hindarilah belajar hingga larut malam, jangan tidur pada pagi hari dan makanlah secukupnya. Ketahuilah bahwa sebaik-baik waktu untuk mengulang pelajaran adalah sebelum dan sesudah shubuh.
Usahakanlah untuk menyimpulkan pelajaran dan mendiskusikannya dengan teman-temanmu, lebih baik lagi kalau diperjelas dengan meminta keterangan guru.
Percaya dirilah dengan kemampuanmu ketika mengikuti ujian, tapi JANGAN SOMBONG dan ‘UJUB. Ingat-ingatlah jawaban malaikat yang suci: Maha Suci Engkau Ya Allah, Kami Tidak Memiliki Pengetahuan kecuali Yang Telah Engkau Ajarkan Kepada Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar Dan Maha Bijaksana!
Sebelum dan sesudah belajar, berniatlah yang IKHLAS karena Allah semata dan bertawakallah kepadaNya kemudian berusahlah, semoga Allah membimbingmu dan menjadikanmu termasuk orang-orang yang SUKSES, Amin!
Renungan 3
Kita bangun tidur di waktu subuh dan kemudian membasah wajah dengan air wuduk yang segar. Sesudah melaksanakan solat dan berdoa. Cobalah menghadap cermin di dinding. Di sana kita mulai meneliti diri :
1.Lihatlah kepala kita! Apakah ia sudah kita tundukkan, rukukkan dan sujudkan dengan segenap kepasrahan seorang hamba fana tiada daya di hadapan Allah Yang Maha Perkasa, atau ia tetap tengadah dengan segenap keangkuhan, kebongkak dan kesombongan seorang manusia di dalam pikirannya?
2. Lihatlah mata kita! Apakah ia sudah kita gunakan untuk menatap keindahan dan keagungan ciptaan-ciptaan Allah Yang Maha Kuasa, atau kita gunakan untuk melihat segala pemandangan dan kemaksiatan yang dilarang?
3. Lihatlah telinga Kita! Apakah ia sudah kita gunakan untuk mendengarkan suara azan, bacaan Al Qur’an, seruan kebaikan, atau kita gunakan buat mendengarkan suara-suara yang sia-sia tiada bermakna?
4. Lihatlah hidung Kita! Apakah sudah kita gunakan untuk mencium sajadah yang terhampar di tempat solat, mencium isteri, suami dan anak-anak tercinta serta mencium kepala anak-anak papa yang kehilangan cinta bunda dan ayahnya?
5. Lihatlah mulut kita! Apakah sudah kita gunakan untuk mengatakan kebenaran dan kebaikan, nasihat-nasihat bermanfaat serta kata-kata bermakna atau kita gunakan untuk mengatakan kata-kata tak berguna dan berbisa, mengeluarkan tahafaul lisan alias penyakit lisan seperti: bergibah, memfitnah, mengadu domba, berdusta bahkan menyakiti hati sesama?
6. Lihatlah tangan Kita! Apakah sudah kita gunakan buat bersedekah, membantu sesama yang kena musibah, mencipta karya-karya yang berguna atau kita gunakan untuk mencuri, menzalimi orang lain serta merampas hak-hak serta harta-harta orang yang tak berdaya?
7. Lihatlah kaki Kita! Apakah sudah kita gunakan untuk melangkah ke tempat ibadah, ke tempat menuntut ilmu bermutu, ke tempat-tempat pengajian yang kian mendekatkan perasaan kepada Allah Yang Maha Penyayang atau kita gunakan untuk melangkah ke tempat maksiat dan kejahatan?
8. Lihatlah dada Kita! Apakah di dalamnya tersimpan perasaan yang lapang,sabar, tawakal dan keikhlasan serta perasaan selalu bersyukur kepada Allah Yang Maha Bijaksana, atau di dalamnya tertanam ladang jiwa yang tumbuh subur daun-daun takabur, biji-biji bakhil, benih iri hati dan dengki serta pepohonan berbuah riya?
9. Lihatlah diri kita! Apakah kita sering takbur, Tafakur dan selalu bersyukur pada karunia yang kita terima dari Allah Yang Maha Perkasa?
click for more
1.Lihatlah kepala kita! Apakah ia sudah kita tundukkan, rukukkan dan sujudkan dengan segenap kepasrahan seorang hamba fana tiada daya di hadapan Allah Yang Maha Perkasa, atau ia tetap tengadah dengan segenap keangkuhan, kebongkak dan kesombongan seorang manusia di dalam pikirannya?
2. Lihatlah mata kita! Apakah ia sudah kita gunakan untuk menatap keindahan dan keagungan ciptaan-ciptaan Allah Yang Maha Kuasa, atau kita gunakan untuk melihat segala pemandangan dan kemaksiatan yang dilarang?
3. Lihatlah telinga Kita! Apakah ia sudah kita gunakan untuk mendengarkan suara azan, bacaan Al Qur’an, seruan kebaikan, atau kita gunakan buat mendengarkan suara-suara yang sia-sia tiada bermakna?
4. Lihatlah hidung Kita! Apakah sudah kita gunakan untuk mencium sajadah yang terhampar di tempat solat, mencium isteri, suami dan anak-anak tercinta serta mencium kepala anak-anak papa yang kehilangan cinta bunda dan ayahnya?
5. Lihatlah mulut kita! Apakah sudah kita gunakan untuk mengatakan kebenaran dan kebaikan, nasihat-nasihat bermanfaat serta kata-kata bermakna atau kita gunakan untuk mengatakan kata-kata tak berguna dan berbisa, mengeluarkan tahafaul lisan alias penyakit lisan seperti: bergibah, memfitnah, mengadu domba, berdusta bahkan menyakiti hati sesama?
6. Lihatlah tangan Kita! Apakah sudah kita gunakan buat bersedekah, membantu sesama yang kena musibah, mencipta karya-karya yang berguna atau kita gunakan untuk mencuri, menzalimi orang lain serta merampas hak-hak serta harta-harta orang yang tak berdaya?
7. Lihatlah kaki Kita! Apakah sudah kita gunakan untuk melangkah ke tempat ibadah, ke tempat menuntut ilmu bermutu, ke tempat-tempat pengajian yang kian mendekatkan perasaan kepada Allah Yang Maha Penyayang atau kita gunakan untuk melangkah ke tempat maksiat dan kejahatan?
8. Lihatlah dada Kita! Apakah di dalamnya tersimpan perasaan yang lapang,sabar, tawakal dan keikhlasan serta perasaan selalu bersyukur kepada Allah Yang Maha Bijaksana, atau di dalamnya tertanam ladang jiwa yang tumbuh subur daun-daun takabur, biji-biji bakhil, benih iri hati dan dengki serta pepohonan berbuah riya?
9. Lihatlah diri kita! Apakah kita sering takbur, Tafakur dan selalu bersyukur pada karunia yang kita terima dari Allah Yang Maha Perkasa?
click for more
Selasa, 21 Juni 2011
Kata mutiara
Teman...
Teman bisa jadi pengingat bagi yang lalai
Bisa jadi syaithon bagi yang ingat
Bahwa teman ....
Bisa jadi pupuk kesuksesan
Bisa jadi benalu penghambatan cita - cita
Maka jangan ragu pada diri sendiri, buat bilang selamat tinggal buat teman negativ yang tidak cuma berwujud manusia jelmaan syaithon tapi yang paling berat adalah hawa nafsu yang ada pada diri sendiri
A wise man is never less alone than when alone
Seorang yang bijak tidak akan pernah kesepian ketika sendirian
A great man would appreciate justice, policy and humanity
Teman bisa jadi pengingat bagi yang lalai
Bisa jadi syaithon bagi yang ingat
Bahwa teman ....
Bisa jadi pupuk kesuksesan
Bisa jadi benalu penghambatan cita - cita
Maka jangan ragu pada diri sendiri, buat bilang selamat tinggal buat teman negativ yang tidak cuma berwujud manusia jelmaan syaithon tapi yang paling berat adalah hawa nafsu yang ada pada diri sendiri
A wise man is never less alone than when alone
Seorang yang bijak tidak akan pernah kesepian ketika sendirian
A great man would appreciate justice, policy and humanity
Rabu, 15 Juni 2011
Renungan pemuda
Kawan.........
Ingatlah kita terbentuk dari mani yang menjijikkan
Ingatlah kita berada di perut Ibu selama 9 bulan
Ingatlah kita ditimang, disayang olehnya
Malam kita menjerit, menangis
Malam pula ibu kita terbangun untuk kita
Malam Ibu bersujud meneteskan air mata
Malam Ibu memohon pada ilahi
Hanya untuk kita
Jangan sia-siakan beliau
Jangan durhakai beliau
Jangan kecewakan beliau
Buat Ibu kita bangga
Buat Ibu kita senang
Buat Ibu kita tersenyum
Dengan apa yang kita lakukan
fff
Ingatlah kita terbentuk dari mani yang menjijikkan
Ingatlah kita berada di perut Ibu selama 9 bulan
Ingatlah kita ditimang, disayang olehnya
Malam kita menjerit, menangis
Malam pula ibu kita terbangun untuk kita
Malam Ibu bersujud meneteskan air mata
Malam Ibu memohon pada ilahi
Hanya untuk kita
Jangan sia-siakan beliau
Jangan durhakai beliau
Jangan kecewakan beliau
Buat Ibu kita bangga
Buat Ibu kita senang
Buat Ibu kita tersenyum
Dengan apa yang kita lakukan
fff
Minggu, 08 Mei 2011
Dalam usaha kita untuk menuntut ilmu, seharusnya kita mengetahui dahulu betapa perlunya adab-adab sebelum menuntut ilmu. Perkara ini diperkuatkan lagi dengan kata-kata Ibnul Mubarak dalam sebuah kitab beliau:
"Aku memperlajari adab selama tiga puluh tahun dan aku mempelajari ilmu selama dua puluh tahun. Dan adalah mereka (ulama') mempelajari adab kemudian mempelajari ilmu" [Mansuah al Adab al Islamiah : 15]
Pada pandangan saya, perlunya adab dan ilmu boleh diumpamakan seperti 'adunan untuk membuat roti'. Adab diumpamakan seperti gandum dan ilmu diumpamakan seperti garam. Hendaklah kita memperbanyakkan gandum berbanding garam namun nisbah tersebut haruslah sekata supaya gandum dan garam yang diadun sempurna nisbahnya. Dan ketahuilah, memperbanyakkan adab bersama ilmu yang sedikit lebih baik daripada memperbanyakkan ilmu berbanding adab yang sedikit.
Dalil Menuntut Ilmu
Dalam Surah at Taubah ada menyebut bahawa bukan semua di antara kita pergi untuk berjuang (berjihad). Makanya wajib sebahagian di antara kita pergi memperdalamkan ilmu agama. Firman Allah SWT yang bermaksud:
"Dan tidaklah (betul dan elok) orang-orang yang beriman keluar semuanya (pergi berperang). Oleh itu, hendaklah keluar sebahagian sahaja dari tiap-tiap puak di antara mereka, supaya orang-orang (yang tinggal) itu mempelajari secara mendalam ilmu yang dituntut di dalam agama, dan supaya mereka dapat mengajar kaumnya (yang keluar berjuang) apabila orang-orang itu kembali kepada mereka; mudah-mudahan mereka dapat berjaga-jaga (dari melakukan larangan Allah)." [At Taubah 9 : 122]
Dan dalam sebuah hadis Rasulullah SAW ada menyebut bahawa sekiranya Allah SWT ingin memberikan hambanya kebaikan, maka Allah SWT akan memberikannya kefahaman dalam agama. Perkara ini yang harus dikejar oleh setiap muslim agar dekat kepada kebaikan yang dijanjikan oleh Allah SWT dengan menuntut ilmu. Sabda Rasulullah SAW yang bermaksud:
"Sesiapa yang dikehendaki oleh Allah SWT baginya akan kebaikan, nescaya Allah SWT akan memberinya kefahaman dalam agama" [HR Bukhari dan Muslim]
Adab Menuntut Ilmu
01.Niat yang ikhlas
Menuntut ilmu bukan untuk lulus dalam perperiksaaan, untuk mendapat kerja yang bagus, untuk dikatakan orang yang bijak atau pelbagai lagi niat yang lain melainkan hanya kerana Allah SWT. Daripada Ibn Umar RA sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud:
"Sesiapa yang menuntut ilmu kerana selain daripada Allah SWT ataupun menghendaki menuntut ilmu (sebaliknya) selain daripada Allah SWT, maka disediakan tempat duduknya daripada neraka." [HR Tarmizi]
Niat itu sendiri memainkan peranan yang tinggi dalam sesuatu amalan. Setiap amalan kita akan dinilai oleh Allah SWT berdasarkan niat. Maka niatlah segalanya hanya kerana Allah SWT, kerana sesungguhnya Allah SWT tahu apa yang terdetik dalam hati tiap-tiap manusia.
02.Beradab dengan orang yang memberi ilmu
Imam Syafie pernah bekata:
"Sesiapa yang ingin dibuka hatinya oleh Allah, maka hendaklah ia berkhalwah, sedikit makan, menjauhi daripada bergaul dengan orang yang bodoh, dan membenci orang yang tidak berlaku adil dan tidak beradab daripada kalangan mereka yang berilmu" [Kitab Majmuk, Syarah Mazhab, jilid 1, m/s 31]
Pada pendapat saya dalam hal beradab dengan guru, ia memerlukan perbahasan yang panjang. Namun secara ringkasnya bagi kita sebagai penuntut, adab-adab ini haruslah disesuaikan mengikut situasi. Janganlah kita terlalu menghormatinya sehinggakan mengakui kesilapan yang guru itu lakukan dan janganlah juga kita terlalu memperlecehkan sehingga guru itu tidak ikhlas dalam memberi ilmu kepada kita. Hormatnya kita akan guru berubah mengikut situasi dimana hormatnya seorang kanak-kanak tadika dengan gurunya berbeza dengan hormatnya mahasiswa dengan pensyarah.
03.Bersabar dalam menuntut ilmu
Imam Syafie pernah berkata:
"Tidak diperolehi ilmu kecuali dengan bersabar atas kesengsaraan." [Kitab Muntalaqat Talib al Ilmi, Husin Ya'cob, m/s: 237
04. Tulis setiap yang dipelajari
Sahabat Rasulullah SAW sendiri menulis jika ingin menuntut ilmu, adakah kita lebih baik dari mereka dengan tidak menulis apa yang dipelajari?
Abu Hurairah berkata:
"Tidak ada seorangpun daripada sahabat Rasulullah SAW yang paling banyak meriwayatkan hadis kecuali Abdullah bin Amr bin al Asr, maka sesungguhnya dia telah menulis dan aku tidak menulis" [HR Ahmad dan Baihaqi]
05.Rendah diri
Imam Ahmad bin Hambal berkata:
"Kami diperintahkan supaya tawadhu' (rendah diri) kepada siapa yang kami pelajari ilmu daripadanya." [Kitab Muntalaqat Talib al Ilmi, Husin Ya'cob, m/s 274]
06.Menjahui dari kenyang yang berlebihan
Ibn Jama'ah berkata:
"Sebesar-besar perkara yang menolong seorang penuntut ilmu dengan kefahaman dan tidak rasa jemu adalah makan sekadarnya daripada makan yang halal." [Kitab Fadhlu al Ilmi wa Adab Talabihi, m/s 222]
07.Tidur yang sedikit
Firman Allah SWT yang bermaksud:
"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (syurga) dan mata air, mereka mengambil apa yang diberikan Tuhan kepada mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat baik; mereka sedikit sekali tidur di waktu malam dan pada akhir malam mereka meminta ampun (kepada Allah SWT)." [Az Zariyat 51 : 15 – 18]
08.Kurangkan berkata-kata yang tidak menfaat
Sabda Rasulullah SAW yang bermaksud:
"Sesiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka bercakaplah dengan perkataan yang baik ataupun diam." [HR Bukhari dan Muslim]
PENUTUP:
Tiada adab yang lebih sempurna melainkan kita mengikuti adab Rasulullah SAW dan adab mereka yang segenarasi dengan Rasulullah SAW (sahabat), generasi setelahnya (tabi'in) kemudian setelahnya (tabi' tabi'in).
Saya menasihati para pembaca sekalian agar dalam usaha kita untuk menuntut ilmu agama, seharusnya memperbanyakkan adab-adab dalam menuntut ilmu. Namun adab-adab tersebut seharusnya jangan terlalu 'fanatik' sehinggakan memperbetulkan apa yang salah dari mereka yang kita hormati. Manakah yang kalian lebih cintai sama ada pemberi ilmu atau kebenaran? Dan kebenaran itu juga seharusnya dengan ilmu.
Hanya ilmu yang layak untuk menjadi pegangan kita sebagai ummat akhir zaman ialah al Quran, as Sunnah dan sunnah Khulafa' al Rasyidin seperti sabda Rasulullah SAW yang bermaksud:
"Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalanku nanti, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh kerana itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah al Khulafa al Rasyidin yang terbina dan terbimbing. Berpeganglah erat-erat denganya dan gigitlah ia dengan gigi gerham." [HR Abu Daud, at Tarmidzi dan lain-lain]
Tinta saya hanyalah dari ilmu yang sedikit namun kerana kesedaran betapa pentingnya adab dalam menuntut ilmu maka saya kongsikan apa yang terbaik dari ilmu yang sedikit ini. Saya memohon dari para 'alim dari segala ilmu untuk menegur jika terdapat salah dan silap dari apa yang saya kongsikan ini. Sungguh tiada yang lebih benar melainkan dari al Quran dan as Sunnah Rasulullah SAW.
- Artikel iLuvislam.com
Biodata Penulis
Muhammad Salman Al Farisi Bin Muhammad merupakan pelajar Sekolah Menengah Islam Al Irsyad, Kuantan. Kini, beliau sedang menyambung pelajarannya di Maahad Buuth Islami, Kaherah, Mesir.
http://cintanota.blogspot.com/
"Aku memperlajari adab selama tiga puluh tahun dan aku mempelajari ilmu selama dua puluh tahun. Dan adalah mereka (ulama') mempelajari adab kemudian mempelajari ilmu" [Mansuah al Adab al Islamiah : 15]
Pada pandangan saya, perlunya adab dan ilmu boleh diumpamakan seperti 'adunan untuk membuat roti'. Adab diumpamakan seperti gandum dan ilmu diumpamakan seperti garam. Hendaklah kita memperbanyakkan gandum berbanding garam namun nisbah tersebut haruslah sekata supaya gandum dan garam yang diadun sempurna nisbahnya. Dan ketahuilah, memperbanyakkan adab bersama ilmu yang sedikit lebih baik daripada memperbanyakkan ilmu berbanding adab yang sedikit.
Dalil Menuntut Ilmu
Dalam Surah at Taubah ada menyebut bahawa bukan semua di antara kita pergi untuk berjuang (berjihad). Makanya wajib sebahagian di antara kita pergi memperdalamkan ilmu agama. Firman Allah SWT yang bermaksud:
"Dan tidaklah (betul dan elok) orang-orang yang beriman keluar semuanya (pergi berperang). Oleh itu, hendaklah keluar sebahagian sahaja dari tiap-tiap puak di antara mereka, supaya orang-orang (yang tinggal) itu mempelajari secara mendalam ilmu yang dituntut di dalam agama, dan supaya mereka dapat mengajar kaumnya (yang keluar berjuang) apabila orang-orang itu kembali kepada mereka; mudah-mudahan mereka dapat berjaga-jaga (dari melakukan larangan Allah)." [At Taubah 9 : 122]
Dan dalam sebuah hadis Rasulullah SAW ada menyebut bahawa sekiranya Allah SWT ingin memberikan hambanya kebaikan, maka Allah SWT akan memberikannya kefahaman dalam agama. Perkara ini yang harus dikejar oleh setiap muslim agar dekat kepada kebaikan yang dijanjikan oleh Allah SWT dengan menuntut ilmu. Sabda Rasulullah SAW yang bermaksud:
"Sesiapa yang dikehendaki oleh Allah SWT baginya akan kebaikan, nescaya Allah SWT akan memberinya kefahaman dalam agama" [HR Bukhari dan Muslim]
Adab Menuntut Ilmu
01.Niat yang ikhlas
Menuntut ilmu bukan untuk lulus dalam perperiksaaan, untuk mendapat kerja yang bagus, untuk dikatakan orang yang bijak atau pelbagai lagi niat yang lain melainkan hanya kerana Allah SWT. Daripada Ibn Umar RA sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud:
"Sesiapa yang menuntut ilmu kerana selain daripada Allah SWT ataupun menghendaki menuntut ilmu (sebaliknya) selain daripada Allah SWT, maka disediakan tempat duduknya daripada neraka." [HR Tarmizi]
Niat itu sendiri memainkan peranan yang tinggi dalam sesuatu amalan. Setiap amalan kita akan dinilai oleh Allah SWT berdasarkan niat. Maka niatlah segalanya hanya kerana Allah SWT, kerana sesungguhnya Allah SWT tahu apa yang terdetik dalam hati tiap-tiap manusia.
02.Beradab dengan orang yang memberi ilmu
Imam Syafie pernah bekata:
"Sesiapa yang ingin dibuka hatinya oleh Allah, maka hendaklah ia berkhalwah, sedikit makan, menjauhi daripada bergaul dengan orang yang bodoh, dan membenci orang yang tidak berlaku adil dan tidak beradab daripada kalangan mereka yang berilmu" [Kitab Majmuk, Syarah Mazhab, jilid 1, m/s 31]
Pada pendapat saya dalam hal beradab dengan guru, ia memerlukan perbahasan yang panjang. Namun secara ringkasnya bagi kita sebagai penuntut, adab-adab ini haruslah disesuaikan mengikut situasi. Janganlah kita terlalu menghormatinya sehinggakan mengakui kesilapan yang guru itu lakukan dan janganlah juga kita terlalu memperlecehkan sehingga guru itu tidak ikhlas dalam memberi ilmu kepada kita. Hormatnya kita akan guru berubah mengikut situasi dimana hormatnya seorang kanak-kanak tadika dengan gurunya berbeza dengan hormatnya mahasiswa dengan pensyarah.
03.Bersabar dalam menuntut ilmu
Imam Syafie pernah berkata:
"Tidak diperolehi ilmu kecuali dengan bersabar atas kesengsaraan." [Kitab Muntalaqat Talib al Ilmi, Husin Ya'cob, m/s: 237
04. Tulis setiap yang dipelajari
Sahabat Rasulullah SAW sendiri menulis jika ingin menuntut ilmu, adakah kita lebih baik dari mereka dengan tidak menulis apa yang dipelajari?
Abu Hurairah berkata:
"Tidak ada seorangpun daripada sahabat Rasulullah SAW yang paling banyak meriwayatkan hadis kecuali Abdullah bin Amr bin al Asr, maka sesungguhnya dia telah menulis dan aku tidak menulis" [HR Ahmad dan Baihaqi]
05.Rendah diri
Imam Ahmad bin Hambal berkata:
"Kami diperintahkan supaya tawadhu' (rendah diri) kepada siapa yang kami pelajari ilmu daripadanya." [Kitab Muntalaqat Talib al Ilmi, Husin Ya'cob, m/s 274]
06.Menjahui dari kenyang yang berlebihan
Ibn Jama'ah berkata:
"Sebesar-besar perkara yang menolong seorang penuntut ilmu dengan kefahaman dan tidak rasa jemu adalah makan sekadarnya daripada makan yang halal." [Kitab Fadhlu al Ilmi wa Adab Talabihi, m/s 222]
07.Tidur yang sedikit
Firman Allah SWT yang bermaksud:
"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (syurga) dan mata air, mereka mengambil apa yang diberikan Tuhan kepada mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat baik; mereka sedikit sekali tidur di waktu malam dan pada akhir malam mereka meminta ampun (kepada Allah SWT)." [Az Zariyat 51 : 15 – 18]
08.Kurangkan berkata-kata yang tidak menfaat
Sabda Rasulullah SAW yang bermaksud:
"Sesiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka bercakaplah dengan perkataan yang baik ataupun diam." [HR Bukhari dan Muslim]
PENUTUP:
Tiada adab yang lebih sempurna melainkan kita mengikuti adab Rasulullah SAW dan adab mereka yang segenarasi dengan Rasulullah SAW (sahabat), generasi setelahnya (tabi'in) kemudian setelahnya (tabi' tabi'in).
Saya menasihati para pembaca sekalian agar dalam usaha kita untuk menuntut ilmu agama, seharusnya memperbanyakkan adab-adab dalam menuntut ilmu. Namun adab-adab tersebut seharusnya jangan terlalu 'fanatik' sehinggakan memperbetulkan apa yang salah dari mereka yang kita hormati. Manakah yang kalian lebih cintai sama ada pemberi ilmu atau kebenaran? Dan kebenaran itu juga seharusnya dengan ilmu.
Hanya ilmu yang layak untuk menjadi pegangan kita sebagai ummat akhir zaman ialah al Quran, as Sunnah dan sunnah Khulafa' al Rasyidin seperti sabda Rasulullah SAW yang bermaksud:
"Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalanku nanti, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh kerana itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah al Khulafa al Rasyidin yang terbina dan terbimbing. Berpeganglah erat-erat denganya dan gigitlah ia dengan gigi gerham." [HR Abu Daud, at Tarmidzi dan lain-lain]
Tinta saya hanyalah dari ilmu yang sedikit namun kerana kesedaran betapa pentingnya adab dalam menuntut ilmu maka saya kongsikan apa yang terbaik dari ilmu yang sedikit ini. Saya memohon dari para 'alim dari segala ilmu untuk menegur jika terdapat salah dan silap dari apa yang saya kongsikan ini. Sungguh tiada yang lebih benar melainkan dari al Quran dan as Sunnah Rasulullah SAW.
- Artikel iLuvislam.com
Biodata Penulis
Muhammad Salman Al Farisi Bin Muhammad merupakan pelajar Sekolah Menengah Islam Al Irsyad, Kuantan. Kini, beliau sedang menyambung pelajarannya di Maahad Buuth Islami, Kaherah, Mesir.
http://cintanota.blogspot.com/
Selasa, 26 April 2011
Sejarah Singkat Imam Syafi’i
Sejarah Singkat Imam Syafi’i
Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah saw. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.
Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Alquran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.”
Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah ?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus”
Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Sumber :
1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal 3-33.
2. Siyar A‘lam an-Nubala’
3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, Cirebon.
Sumber: http://muslim.or.id/?p=9
Sejarah Singkat Imam Syafi’i
Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah saw. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.
Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Alquran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.”
Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah ?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus”
Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Sumber :
1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal 3-33.
2. Siyar A‘lam an-Nubala’
3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, Cirebon.
Sumber: http://muslim.or.id/?p=9
Senin, 25 April 2011
Renungan
KEYAKINAN YANG BENAR
(AL-AQIDAH ASH-SHAHIHAH)
Sukses Berawal dari Keyakinan.
KEMAUAN YANG KUAT
(AL-IRADAH AL-QAWIYYAH
“SUKSES bukanlah HASIL tapi PROSES menuju keberhasilan”.
DOSA terbesar adalah ketakutan
REKREASI terbaik adalah bekerja
MUSIBAH terbesar adalah keputusasaan
KEBERANIAN terbesar adalah kesabaran
GURU yang terbaik adalah pengalaman
MISTERI terbesar adalah kematian
KEHORMATAN terbesar adalah kesetiaan
KARUNIA terbesar adalah anak yang sholeh
SUMBANGAN terbesar adalah berpartisipasi
MODAL terbesar adalah kemandirian
(Ali bin Abi Thalib ra)
(AL-AQIDAH ASH-SHAHIHAH)
Sukses Berawal dari Keyakinan.
KEMAUAN YANG KUAT
(AL-IRADAH AL-QAWIYYAH
“SUKSES bukanlah HASIL tapi PROSES menuju keberhasilan”.
DOSA terbesar adalah ketakutan
REKREASI terbaik adalah bekerja
MUSIBAH terbesar adalah keputusasaan
KEBERANIAN terbesar adalah kesabaran
GURU yang terbaik adalah pengalaman
MISTERI terbesar adalah kematian
KEHORMATAN terbesar adalah kesetiaan
KARUNIA terbesar adalah anak yang sholeh
SUMBANGAN terbesar adalah berpartisipasi
MODAL terbesar adalah kemandirian
(Ali bin Abi Thalib ra)
Nur Safitri Aini:
Nur Safitri Aini:
Promosi Kesehatan Dalam Pencapaian Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Rumah Tangga
PHBS di Rumah Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu, mau dan mampu mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat.
PHBS di Rumah Tangga dilakukan untuk mencapai Rumah Tangga ber PHBS yang melakukan 10 PHBS yaitu :
1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan
2. Memberi ASI ekslusif
3. Menimbang balita setiap bulan
4. Menggunakan air bersih
5. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun
6. Menggunakan jamban sehat
7. Memberantas jentik dd rumah sekali seminggu
8. Makan buah dan sayur setiap hari
9. Melakukan aktivitas fisik setiap hari
10. Tidak merokok di dalam rumah
Promosi Kesehatan Dalam Pencapaian Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Rumah Tangga
PHBS di Rumah Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu, mau dan mampu mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat.
PHBS di Rumah Tangga dilakukan untuk mencapai Rumah Tangga ber PHBS yang melakukan 10 PHBS yaitu :
1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan
2. Memberi ASI ekslusif
3. Menimbang balita setiap bulan
4. Menggunakan air bersih
5. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun
6. Menggunakan jamban sehat
7. Memberantas jentik dd rumah sekali seminggu
8. Makan buah dan sayur setiap hari
9. Melakukan aktivitas fisik setiap hari
10. Tidak merokok di dalam rumah
Senin, 11 April 2011
Risalah Rosulullah saw
Dari Kelahiran Sampai Nikah Rosulullah saw
Kelahiran Nabi SAW
Usia Abd’l-Muttalib sudah hampir mencapai tujuhpuluh tahun atau lebih tatkala Abrahah mencoba menyerang Mekah dan menghancurkan Rumah Purba. Ketika itu umur Abdullah anaknya sudah duapuluh empat tahun, dan sudah tiba masanya dikawinkan. Pilihan Abd’l-Muttalib jatuh kepada Aminah bint Wahb bin Abd Manaf bin Zuhra, – pemimpin suku Zuhra ketika itu yang sesuai pula usianya dan mempunyai kedudukan terhormat.
Pada hari perkawinan Abdullah dengan Aminah itu, Abd’l-Muttalib juga kawin dengan Hala, puteri pamannya. Dari perkawinan ini lahirlah Hamzah, paman Nabi dan yang seusia dengan dia. Abdullah dengan Aminah tinggal selama tiga hari di rumah Aminah, sesuai dengan adat kebiasaan Arab bila perkawinan dilangsungkan di rumah keluarga pengantin puteri. Sesudah itu mereka pindah bersama-sama ke keluarga Abd’l-Muttalib.
Beberapa saat setelah perkawinan, Abdullahpun pergi dalam suatu usaha perdagangan ke Suria dengan meninggalkan isteri yang dalam keadaan hamil. Dalam perjalanannya itu Abdullah tinggal selama beberapa bulan. Dalam pada itu ia pergi juga ke Gaza dan kembali lagi. Kemudian ia singgah ke tempat saudara-saudara ibunya di Medinah sekadar beristirahat sesudah merasa letih selama dalam perjalanan. Sesudah itu ia akan kembali pulang dengan kafilah ke Mekah. Akan tetapi kemudian ia menderita sakit di tempat saudara-saudara ibunya itu. Kawan-kawannyapun pulang lebih dulu meninggalkan dia.
Abd’l-Muttalibmengutus Harith – anaknya yang sulung – ke Medinah, supaya membawa kembali bila ia sudah sembuh. Tetapi sesampainya di Medinah ia mengetahui bahwa Abdullah sudah meninggal dan sudah dikuburkan pula, sebulan sesudah kafilahnya berangkat ke Mekah. Kembalilah Harith kepada keluarganya dengan membawa perasaan pilu atas kematian adiknya itu. Rasa duka dan sedih menimpa hati Abd’l-Muttalib, menimpa hati Aminah, karena ia kehilangan seorang suami yang selama ini menjadi harapan kebahagiaan hidupnya.Peninggalan Abdullah sesudah wafat terdiri dari lima ekor unta, sekelompok ternak kambing dan seorang budak perempuan, yaitu Umm Ayman – yang kemudian menjadi pengasuh Nabi. Boleh jadi peninggalan serupa itu bukan berarti suatu tanda kekayaan; tapi tidak juga merupakan suatu kemiskinan.
Aminah melahirkan beberapa bulan kemudian. Selesai bersalin dikirimnya berita kepada Abd’l Muttalib di Ka’bah, bahwa ia melahirkan seorang anak laki-laki. Alangkah gembiranya orang tua itu setelah menerima berita. Sekaligus ia teringat kepada Abdullah anaknya. Gembira sekali hatinya karena ternyata pengganti anaknya sudah ada. Cepat-cepat ia menemui menantunya itu, diangkatnya bayi itu lalu dibawanya ke Ka’bah. Ia diberi nama Muhammad. Nama ini tidak umum di kalangan orang Arab tapi cukup dikenal.
Mengenai tahun ketika Muhammad dilahirkan, beberapa ahli berlainan pendapat. Sebagian besar mengatakan pada Tahun Gajah (570 Masehi). Ibn Abbas mengatakan ia dilahirkan pada Tahun Gajah pada tanggal duabelas Rabiul Awal. Ini adalah pendapat Ibn Ishaq dan yang lain. Pada hari ketujuh kelahirannya itu Abd’l-Muttalib minta disembelihkan unta. Hal ini kemudian dilakukan dengan mengundang makan masyarakat Quraisy. Setelah mereka mengetahui bahwa anak itu diberi nama Muhammad, mereka bertanya-tanya mengapa ia tidak suka memakai nama nenek moyang. “Kuinginkan dia akan menjadi orang yang Terpuji,1 bagi Tuhan di langit dan bagi makhlukNya di bumi,” jawab Abd’l Muttalib.
Masa Kecil Nabi SAW
Sudah menjadi kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab di Mekah bahwa anak yang baru lahir disusukan kepadakepada salah seorang Keluarga Sa’d. Sementara masih menunggu orang yang akan menyusukan itu Aminah menyerahkan anaknya kepada Thuwaiba, budak perempuan pamannya, Abu Lahab. Selama beberapa waktu ia disusukan, seperti Hamzah yang juga kemudian disusukannya. Jadi mereka adalah saudara susuan. Thuwaiba hanya beberapa hari saja menyusukan.
Akhirnya datang juga wanita-wanita Keluarga Sa’d yang akan menyusukan itu ke Mekah. Mereka memang mencari bayi yang akan mereka susukan. Akan tetapi mereka menghindari anak-anak yatim, karena mereka mengharapkan upah yang lebih. Sedang dari anak-anak yatim sedikit sekali yang dapat mereka harapkan. Oleh karena itu di antara mereka itu tak ada yang mau mendatangi Muhammad. Salah seorang dari mereka, Halimah bint Abi-Dhua’ib, ternyata tidak mendapat bayi lain sebagai gantinya. Setelah mereka akan meninggalkan Mekah, Halimah memutuskan untuk mengambil Muhammad. Dia bercerita, bahwa sejak diambilnya anak itu ia merasa mendapat berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan susunyapun bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya. Selama dua tahun Muhammad tinggal di sahara, disusukan oleh Halimah dan diasuh oleh Syaima’, puterinya. Udara sahara dan kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat sekali menjadi besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan badannya.
Setelah cukup dua tahun dan tiba masanya disapih, Halimah membawa anak itu kepada ibunya dan sesudah itu membawanya kembali ke pedalaman. Hal ini dilakukan karena kehendak ibunya, kata sebuah keterangan, dan keterangan lain mengatakan karena kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa kembali supaya lebih matang, juga memang dikuatirkan dari adanya serangan wabah Mekah. Dua tahun lagi anak itu tinggal di sahara, menikmati udara pedalaman yang jernih dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.
Pada masa itu, sebelum usianya mencapai tiga tahun, ketika itulah terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang. Yakni, bahwa sementara ia dengan saudaranya yang sebaya sesama anak-anak itu sedang berada di belakang rumah di luar pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak yang dari Keluarga Sa’d itu kembali pulang sambil berlari, dan berkata kepada ibu-bapanya: “Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil oleh dua orang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan, perutnya dibedah, sambil di balik-balikan.” Dan tentang Halimah ini ada juga diceritakan, bahwa mengenai diri dan suaminya ia berkata: “Lalu saya pergi dengan ayahnya ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri. Mukanya pucat-pasi. Kuperhatikan dia. demikian juga ayahnya. Lalu kami tanyakan: “Kenapa kau, nak?” Dia menjawab: “Aku didatangi oleh dua orang laki-laki berpakaian putih. Aku di baringkan, lalu perutku di bedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu aku apa yang mereka cari.”
Keluarga itu kemudian ketakutan, kalau-kalau terjadi sesuatu pada anak itu. Sesudah itu, dibawanya anak itu kembali kepada ibunya di Mekah. Atas peristiwa ini Ibn Ishaq membawa sebuah Hadis Nabi sesudah kenabiannya. Dalam riwayat yang diceritakan Ibn Ishaq, dikatakan bahwa sebab dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua malaikat itu, melainkan ada beberapa orang Nasrani Abisinia memperhatikan Muhammad dan menanyakan kepada Halimah tentang anak itu. Dilihatnya belakang anak itu, lalu mereka berkata: “Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di negeri kami. Anak ini akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui keadaannya.” Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri dari mereka dengan membawa anak itu.
Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan yang indah sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu Halimah dan keluarganya tempat dia menumpahkan rasa kasih sayang dan hormat selama hidupnya itu. Penduduk daerah itu pernah mengalami suatu masa paceklik sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana Halimah kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta Khadijah berupa unta yang dimuati air dan empat puluh ekor kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah sebagai tanda penghormatan. Ketika Syaima, puterinya berada di bawah tawanan bersama-sama pihak Hawazin setelah Ta’if dikepung, kemudian dibawa kepada Muhammad, ia segera mengenalnya. Ia dihormati dan dikembalikan kepada keluarganya sesuai dengan keinginan wanita itu.
Kemudian Abd’l-Muttalib yang bertindak mengasuh cucunya itu. Ia memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala kasih-sayangnya kepada cucu ini. Biasanya buat orang tua itu – pemimpin seluruh Quraisy dan pemimpin Mekah – diletakkannya hamparan tempat dia duduk di bawah naungan Ka’bah, dan anak-anaknya lalu duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan kepada orang tua. Tetapi apabila Muhammad yang datang maka didudukkannya ia di sampingnya diatas hamparan itu sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat betapa besarnya rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya di belakang dari tempat mereka duduk itu.
Kematian Ibunda
Ketika Nabi berusia 6 tahun, Aminah membawanya ke Medinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga Najjar. Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Medinah kepada anak itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali ia merasakan sebagai anak yatim. Dan barangkali juga ibunya pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta itu, yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama, kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari pihak ibu.
Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah bersama rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa’,2 ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan pula di tempat itu. Anak itu oleh Umm Aiman dibawa pulang ke Mekah, pulang menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa kehilangan; sudah ditakdirkan menjadi anak yatim. Terasa olehnya hidup yang makin sunyi, makin sedih. Baru beberapa hari yang lalu ia mendengar dari Ibunda keluhan duka kehilangan Ayahanda semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia melihat sendiri dihadapannya, ibu pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayah dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu. Lebih-lebih lagi kecintaan Abd’l-Muttalib kepadanya. Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam Qur’anpun disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu: “Bukankah engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya orang yang akan melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu ditunjukkanNya jalan itu?” (Qur’an, 93: 6-7)
Nabi kemudian di bawah asuhan kakeknya, Abd’l-Muttalib. Tetapi orang tua itu juga meninggal tak lama kemudian, dalam usia delapanpuluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru berumur delapan tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.
Bersama Abu Talib
Kemudian pengasuhan Muhammad di pegang oleh Abu Talib, sekalipun dia bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus rifada (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Talib mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan kalau Abd’l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepada Abu Talib. Abu Talib mencintai kemenakannya itu sama seperti Abd’l-Muttalib juga. Karena kecintaannya itu ia mendahulukan kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah yang lebih menarik hati pamannya.
Perjalanan Pertama Ke Syam
Ketika usia Nabi baru duabelas tahun, ia turut dalam rombongan kafilah dagang bersama Abu Talib ke negeri Syam. Diceritakan, bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira, dan bahwa rahib itu telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikuatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadap dia.
Dalam perjalanan itulah, Nabiyullah mendapat pengalaman dan wawasan yang berguna. Beliau dapat melihat luasnya padang pasir, menatap bintang-bintang yang berkilauan di langit yang jernih cemerlang. Dilaluinya daerah-daerah Madyan, Wadit’l-Qura serta peninggalan bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dsegala cerita orang-orang Arab dan penduduk pedalaman tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau. Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun yang lebat dengan buab-buahan yang sudah masak, yang akan membuat ia lupa akan kebun-kebun di Ta’if serta segala cerita orang tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya dengan dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di sekeliling Mekah itu. Di Syam Muhammad mengetahui berita-berita tentang Kerajaan Rumawi dan agama Kristennya, didengarnya berita tentang Kitab Suci mereka serta oposisi Persia dari penyembah api terhadap mereka dan persiapannya menghadapi perang dengan Persia. Sekalipun usianya baru dua belas tahun, tapi dia sudah mempunyai persiapan kebesaran jiwa, kecerdasan otak, tinjauan yang begitu dalam, ingatan yang cukup kuat, serta segala sifat-sifat semacam itu yang diberikan Allah kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima risalah (misi) maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat ke sekeliling, dengan sikap menyelidiki, meneliti. Ia tidak puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?
Masa Remaja Nabi SAW
Muhammad yang tinggal dengan pamannya, menerima apa adanya. Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusia dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Mekah dengan keluarga, kadang pergi bersama mereka ke pekan-pekan yang berdekatan dengan ‘Ukaz, Majanna dan Dhu’l-Majaz, mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan oleh penyair-penyair Mudhahhabat dan Mu’allaqat, yang melukiskan lagu cinta dan puisi-puisi kebanggaan, melukiskan nenek moyang mereka, peperangan mereka, kemurahan hati dan jasa-jasa mereka. Didengarnya ahli-ahli pidato di antaranya orang-orang Yahudi dan Nasrani yang membenci paganisma Arab. Mereka bicara tentang Kitab-kitab Suci Isa dan Musa, dan mengajak kepada kebenaran menurut keyakinan mereka. Dinilainya semua itu dengan hati nuraninya, dilihatnya ini lebih baik daripada paganisma yang telah menghanyutkan keluarganya itu. Tetapi tidak sepenuhnya ia merasa lega.
Dengan demikian sejak muda-belia takdir telah mengantarkannya ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat mula pertama datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia menyampaikan risalahNya itu. Yakni risalah kebenaran dan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Kalau Muhammad sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir dengan pamannya Abu Talib, sudah mendengar para penyair, ahli-ahli pidato membacakan sajak-sajak dan pidato-pidato dengan keluarganya dulu di pekan sekitar Mekah selama bulan-bulan suci, maka ia juga telah mengenal arti memanggul senjata, ketika ia mendampingi paman-pamannya dalam Perang Fijar.
Perang Fijar
Perang Fijar bermula dari peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Barradz bin Qais dari kabilah Kinana kepada ‘Urwa ar-Rahhal bin ‘Utba dari kabilah Hawazin pada bulan suci yang sebenarnya dilarang untuk berperang. Seorang pedagang, Nu’man bin’l-Mundhir, setiap tahun mengirimkan sebuah kafilah dari Hira ke ‘Ukaz, tidak jauh dari ‘Arafat. Barradz menginginkan membawa kafilah itu ke bawah pengawasan kabilah Kinana. Demikian juga ‘Urwa menginginkan mengiringi kafilah itu. Nu’man memilih ‘Urwa (Hawazin), dan hal ini menimbulkan kejengkelan Barradz (Kinana). Ia kemudian mengikutinya dari belakang, lalu membunuhnya dan mengambil kabilah itu. Maka terjadilah perang antara mereka itu. Perang ini hanya beberapa hari saja setiap tahun, tetapi berlangsung selama empat tahun terus-menerus dan berakhir dengan suatu perdamaian model pedalaman, yaitu yang menderita korban manusia lebih kecil harus membayar ganti sebanyak jumlah kelebihan korban itu kepada pihak lain. Maka dengan demikian Quraisy telah membayar kompensasi sebanyak duapuluh orang Hawazin. Perang fijar ini terjadi ketika Nabi berusia antara limabelas tahun sampai duapuluh tahun.
Beberapa tahun sesudah kenabiannya Rasulullah menyebutkan tentang Perang Fijar itu dengan berkata: “Aku mengikutinya bersama dengan paman-pamanku, juga ikut melemparkan panah dalam perang itu; sebab aku tidak suka kalau tidak juga aku ikut melaksanakan.”
Perang Fijar itu berlangsung hanya beberapa hari saja tiap tahun. Sedang selebihnya masyarakat Arab kembali ke pekerjaannya masing-masing. Pahit-getirnya peperangan yang tergores dalam hati mereka tidak akan menghalangi mereka dari kegiatan perdagangan, menjalankan riba, minum minuman keras serta pelbagai macam kesenangan dan hiburan sepuas-puasnya
Akan tetapi Nabi telah menjauhi semua itu, dan sejarah cukup menjadi saksi. Yang terang ia menjauhi itu bukan karena tidak mampu mencapainya. Mereka yang tinggal di pinggiran Mekah, yang tidak mempunyai mata pencarian, hidup dalam kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam hiburan itu. Jiwa besarnya yang selalu mendambakan kesempurnaan, itu lah yang menyebabkan dia menjauhi foya-foya, yang biasa menjadi sasaran utama pemduduk Mekah. Ia mendambakan cahaya hidup yang akan lahir dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini dibuktikan oleh julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa ia kanak-kanak gejala kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hati sudah tampak, sehingga penduduk Mekah semua memanggilnya Al-Amin (artinya ‘yang dapat dipercaya’).
Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir, ialah pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam masa mudanya itu. Dia menggembalakan kambing keluarganya dan kambing penduduk Mekah. Dengan rasa gembira ia menyebutkan saat-saat yang dialaminya pada waktu menggembala itu. Di antaranya ia berkata: “Nabi-nabi yang diutus Allah itu gembala kambing.” Dan katanya lagi: “Musa diutus, dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala kambing keluargaku di Ajyad.” Gembala kambing yang berhati terang itu, dalam udara yang bebas lepas di siang hari, dalam kemilau bintang bila malam sudah bertahta, menemukan suatu tempat yang serasi untuk pemikiran dan permenungannya.
Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari segala pemikiran nafsu manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas di hadapannya. Oleh karena itu, dalam perbuatan dan tingkah-lakunya Muhammad terhindar dari segala penodaan nama yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Mekah, dan memang begitu adanya: Al-Amin. Pada suatu hari ia ingin bermain-main seperti pemuda-pemuda lain. Hal ini dikatakannya kepada kawannya pada suatu senja, bahwa ia ingin turun ke Mekah, bermain-main seperti para pemuda di gelap malam, dan dimintanya kawannya menjagakan kambing ternaknya itu. Tetapi Allah SWT selalu melindunginya, sesampainya di ujung Mekah, perhatiannya tertarik pada suatu pesta perkawinan dan dia hadir di tempat itu. Tetapi tiba-tiba ia tertidur. Pada malam berikutnya datang lagi ia ke Mekah, dengan maksud yang sama. Terdengar olehnya irama musik yang indah, seolah turun dari langit. Ia duduk mendengarkan. Lalu tertidur lagi sampai pagi.
Kenikmatan yang dirasakan Muhammad sejak masa pertumbuhannya yang mula-mula yang telah diperlihatkan dunia sejak masa mudanya adalah kenangan yang selalu hidup dalam jiwanya, yang mengajak orang hidup tidak hanya mementingkan dunia. Ini dimulai sejak kematian ayahnya ketika ia masih dalam kandungan, kemudian kematian ibunya, kemudian kematian kakeknya. Kenikmatan demikian ini tidak memerlukan harta kekayaan yang besar, tetapi memerlukan suatu kekayaan jiwa yang kuat. sehingga orang dapat mengetahui: bagaimana ia memelihara diri dan menyesuaikannya dengan kehidupan batin.
Pernikahan Dengan Khadijah ra
Ketika Nabi itu berumur duapuluh lima tahun. Abu Talib mendengar bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam. Abu Talib lalu menghubungi Khadijah untuk mengupah Muhammad untuk menjalankan perdagangannya. Khadijah setuju dengan upah empat ekor unta. Setelah mendapat nasehat paman-pamannya Muhammad pergi dengan Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir kafilah itupun berangkat menuju Syam, dengan melalui Wadi’l-Qura, Madyan dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang dulu pernah dilalui Muhammad dengan pamannya Abu Talib.
Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad mampu benar memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara perdagangan yang lebih banyak menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter yang manis dan perasaannya yang luhur ia dapat menarik kecintaan dan penghormatan Maisara kepadanya. Setelah tiba waktunya mereka akan kembali, mereka membeli segala barang dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah. Setelah kembali di Mekah, Muhammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang perjalanannya serta laba yang diperolehnya, demikian juga mengenai barang-barang Syam yang dibawanya. Khadijah gembira dan tertarik sekali mendengarkan. sesudah itu, Maisara bercerita juga tentang Muhammad, betapa halusnya wataknya, betapa tingginya budi-pekertinya. Hal ini menambah pengetahuan Khadijah di samping yang sudah diketahuinya sebagai pemuda Mekah yang besar jasanya.
Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini telah berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia – yang sudah berusia empatpuluh tahun, dan yang sebelum itu telah menolak lamaran pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy – tertarik juga hatinya mengawini pemuda ini, yang tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia membicarakan hal itu kepada saudaranya yang perempuan – kata sebuah sumber, atau dengan sahabatnya, Nufaisa bint Mun-ya – kata sumber lain. Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata: “Kenapa kau tidak mau kawin?” “Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan,” jawab Muhammad. “Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta, terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kauterima?” “Siapa itu?” Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata: “Khadijah.” “Dengan cara bagaimana?” tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri berkenan kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah sudah menolak permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy. Setelah atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan: “Serahkan hal itu kepadaku,” maka iapun menyatakan persetujuannya.
Tak lama kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga Khadijah guna menentukan hari perkawinan. Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman Khadijah, Umar bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah meninggal sebelum Perang Fijar. Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad. Dimulainya kehidupan itu sebagai suami-isteri dan ibu-bapa, suami-isten yang harmonis dan sedap dari kedua belah pihak, dan sebagai ibu-bapa yang telah merasakan pedihnya kehilangan anak sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan ibu-bapa semasa ia masih kecil.
Dari Nikah Sampai Wahyu Pertama Rosulullah saw
Rumah Tangga Rasulullah Saw
DENGAN duapuluh ekor unta muda sebagai mas kawin Muhammad melangsungkan perkawinannya itu dengan Khadijah. Ia pindah ke rumah Khadijah dalam memulai hidup barunya itu, hidup suami-isteri dan ibu-bapa, saling mencintai cinta sebagai pemuda berumur duapuluh lima tahun. Ia tidak mengenal nafsu muda yang tak terkendalikan, juga ia tidak mengenal cinta buta yang dimulai seolah nyala api yang melonjak-lonjak untuk kemudian padam kembali. Dari perkawinannya itu ia beroleh beberapa orang anak, laki-laki dan perempuan. Kematian kedua anaknya, al-Qasim dan Abdullah at-Tahir at-Tayyib telah menimbulkan rasa duka yang dalam sekali. Anak-anak yang masih hidup semua perempuan. Alangkah besarnya pengaruh yang terjalin dalam hidup kasih-sayang antara dia dengan Khadijah sebagai isteri yang sungguh setia itu. Pergaulan Muhammad dengan penduduk Mekah tidak terputus, juga partisipasinya dalam kehidupan masyarakat hari-hari.
Selama itu Muhammad tetap bergaul dengan penduduk Mekah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Ia menemukan dalam diri Khadijah teladan wanita terbaik; wanita yang subur dan penuh kasih, menyerahkan seluruh dirinya kepadanya, dan telah melahirkan anak-anak laki-laki: al-Qasim dan Abdullah yang dijuluki at-Tahir dan at-Tayyib, serta puteri-puteri: Zainab, Ruqayya, Umm Kulthum dan Fatimah. Tentang al-Qasim dan Abdullah tidak banyak yang diketahui, kecuali disebutkan bahwa mereka mati kecil pada zaman Jahiliah dan tak ada meninggalkan sesuatu yang patut dicatat. Tetapi yang pasti kematian itu meninggalkan bekas yang dalam pada orangtua mereka. Demikian juga pada diri Khadijah terasa sangat memedihkan hatinya.
Kepada anak-anaknya yang perempuan juga Muhammad memberikan perhatian. Setelah dewasa, Zainab yang sulung dikawinkan dengan Abu’l-’Ash bin’r-Rabi’ b.’Abd Syams – ibunya masih bersaudara dengan Khadijah – seorang pemuda yang dihargai masyarakat karena kejujuran dan suksesnya dalam dunia perdagangan. Perkawinan ini serasi juga, sekalipun kemudian sesudah datangnya Islam – ketika Zainab akan hijrah dan Mekah ke Medinah – mereka terpisah. Ruqayya dan Umm Kulthum dikawinkan dengan ‘Utba dan ‘Utaiba anak-anak Abu Lahab, pamannya. Kedua isteri ini sesudah Islam terpisah dari suami mereka, karena Abu Lahab menyuruh kedua anaknya itu menceraikan isteri mereka, yang kemudian berturut-turut menjadi isteri Usman. Ketika itu Fatimah masih kecil dan perkawinannya dengan Ali baru sesudah datangnya Islam.
Pembangunan Ka’bah
Ketika Muhammad Saw berusia tigapuluh lima tahun menurut catatan Ibn Ishaq, pada waktu itu masyarakat sedang sibuk karena bencana banjir besar yang turun dari gunung, pernah menimpa dan meretakkan dinding-dinding Ka’bah yang memang sudah rapuk. Penduduk Mekah kemudian membangun Ka’bah kembali. Sudut-sudut Ka’bah itu oleh Quraisy dibagi empat bagian tiap kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak dan dibangun kembali. Mereka ramai-ramai merombaknya dan memindahkan batu-batu yang ada. Dan Muhammad ikut pula membawa batu itu. Setelah mereka berusaha membongkar batu hijau yang terdapat di situ dengan pacul tidak berhasil, dibiarkannya batu itu sebagai fondasi bangunan. Dan gunung-gunung sekitar tempat itu sekarang orang-orang Quraisy mulai mengangkuti batu-batu granit berwarna biru, dan pembangunanpun segera dimulai. Sesudah bangunan itu setinggi orang berdiri dan tiba saatnya meletakkan Hajar Aswad yang disucikan di tempatnya semula di sudut timur, maka timbullah perselisihan di kalangan Quraisy, siapa yang seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu di tempatnya.
Demikian memuncaknya perselisihan itu sehingga hampir saja timbul perang saudara karenanya. Keadaan mereda setelah Abu Umayya bin’l-Mughira dari Banu Makhzum, orang yang tertua di antara mereka, dihormati dan dipatuhi, berkata kepada mereka: “Serahkanlah putusan kamu ini di tangan orang yang pertama sekali memasuki pintu Shafa ini.” Tatkala mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki tempat itu, mereka berseru: “Ini al-Amin; kami dapat menerima keputusannya.” Lalu mereka menceritakan peristiwa itu kepadanya. Iapun mendengarkan dan sudah melihat di mata mereka betapa berkobarnya api permusuhan itu. Ia berpikir sebentar, lalu katanya: “Kemarikan sehelai kain,” katanya. Setelah kain dibawakan dihamparkannya dan diambilnya batu itu lalu diletakkannya dengan tangannya sendiri, kemudian katanya; “Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini.” Mereka bersama-sama membawa kain tersebut ke tempat batu itu akan diletakkan. Lalu Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain dan meletakkannya di tempatnya. Dengan demikian perselisihan itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan.
Ka’bah dibangun sampai setinggi delapanbelas hasta (± 11 meter), dan ditinggikan dari tanah sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau melarang orang masuk. Di dalam itu mereka membuat enam batang tiang dalam dua deretan dan di sudut barat sebelah dalam dipasang sebuah tangga naik sampai ke teras di atas lalu meletakkan Hubal (berhala mereka) di dalam Ka’bah. Juga di tempat itu diletakkan barang-barang berharga lainnya, yang sebelum dibangun dan diberi beratap menjadi sasaran pencurian.
Wahyu Pertama
Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab masa itu bahwa golongan berpikir mereka selama beberapa waktu tiap tahun menjauhkan diri dari keramaian orang, berkhalwat dan mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan bertapa dan berdoa, mengharapkan diberi rejeki dan pengetahuan. Pengasingan untuk beribadat semacam ini mereka namakan tahannuf dan tahannuth. Demikian juga halnya dengan Muhammad Saw. Ia mengasingkan diri guna mendalami pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam dirinya. Ia mendapatkan ketenangan dalam din-nya serta obat penawar hasrat hati yang ingin menyendiri, ingin mencari jalan memenuhi kerinduannya yang selalu makin besar, ingin mencapai ma’rifat serta mengetahui rahasia alam semesta. Di puncak Gunung Hira, – sebelah utara Mekah -terletak sebuah gua yang baik sekali buat tempat menyendiri dan tahannuth. Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun ia pergi ke sana dan berdiam di tempat itu, cukup hanya dengan bekal sedikit yang dibawanya. Ia tekun dalam renungan dan ibadat, jauh dari segala kesibukan hidup dan keributan manusia.
Bilamana bulan Ramadan sudah berlalu dan ia kembali kepada Khadijah, pengaruh pikiran yang masih membekas padanya membuat Khadijah menanyakannya selalu, karena diapun ingin lega hatinya bila sudah diketahuinya ia dalam keadaan baik-baik saja. Bila telah tiba pula bulan Ramadan tahun berikutnya, ia pergi ke Hira’, sehingga sedikit demi sedikit ia bertambah matang, jiwanyapun semakin penuh.
Ketika Nabiyullah Saw berusia empat puluh tahun, tatkala ia berada dalam gua itu, datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata kepadanya: “Bacalah!” Dengan terkejut Muhammad menjawab: “Saya tak dapat membaca”. Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi seraya katanya lagi: “Bacalah!” Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab: “Apa yang akan saya baca.” Seterusnya malaikat itu berkata:
“Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya …” (Qur’an 96:1-5)
Lalu ia mengucapkan bacaan itu. Malaikatpun pergi, setelah kata-kata itu terpateri dalam kalbunya. Nabi Saw sendiri kemudian ketakutan, sambil bertanya-tanya kepada dirinya: Gerangan apakah yang dilihatnya?! Ataukah kesurupan yang ditakutinya itu kini telah menimpanya?! Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tak melihat apa-apa.
Kuatir akan apa yang terjadi dalam gua itu, ia lari dari tempat itu. Semuanya serba membingungkan. Tak dapat ia menafsirkan apa yang telah dilihatnya itu. Cepat-cepat ia pergi menyusuri celah-celah gunung, sambil bertanya-tanya dalam hatinya: siapa gerangan yang menyuruhnya membaca itu?! Ia memasuki pegunungan itu masih dalam ketakutan, masih bertanya-tanya. Tiba-tiba ia mendengar ada suara memanggilnya. Dahsyat sekali terasa. Ia melihat ke permukaan langit. Tiba-tiba yang terlihat adalah malaikat dalam bentuk manusia. Dialah yang memanggilnya. Ia makin ketakutan sehingga tertegun ia di tempatnya. Ia memalingkan muka dari yang dilihatnya itu. Tetapi dia masih juga melihatnya di seluruh ufuk langit. Sebentar melangkah maju ia, sebentar mundur, tapi rupa malaikat yang sangat indah itu tidak juga lalu dari depannya. Seketika lamanya ia dalam keadaan demikian.
Setelah rupa malaikat itu menghilang Muhammad pulang sudah berisi wahyu yang disampaikan kepadanya. Jantungnya berdenyut, hatinya berdebar-debar ketakutan. Sesampainya di rumah, dijumpainya Khadijah sambil ia berkata: “Selimuti aku!” Ia segera diselimuti. Tubuhnya menggigil seperti dalam demam. Setelah rasa ketakutan itu berangsur reda dipandangnya isterinya dengan pandangan mata ingin mendapat kekuatan. “Khadijah, kenapa aku?” katanya. Kemudian diceritakannya apa yang telah dilihatnya, dan dinyatakannya rasa kekuatirannya akan teperdaya oleh kata hatinya atau akan jadi seperti juru nujum saja. Khadijah yang penuh rasa kasih-sayang, adalah tempat ia melimpahkan rasa damai dan tenteram kedalam hati yang besar itu, hati yang sedang dalam kekuatiran dan dalam gelisah. Khadijah berusaha untuk membesarkan menghibur hati Muhammad Saw hingga ia merasa tenang kembali.
Ditulis dalam Rosulullah Saw.
Hijrah ke Madinah
Ali ra Menggantikan Rasulullah Saw
Quraisy berencana membunuh Muhammad, karena dikuatirkan ia akan hijrah ke Medinah. Ketika itu kaum Muslimin sudah tak ada lagi yang tinggal kecuali sebagian kecil. Ketika perintah dari Allah Swr datang supaya beliau haijrah, beliau meminta Abu Bakr supaya menemaninya dalam hijrahnya itu. Sebelum itu Abu Bakr memang sudah menyiapkan dua ekor untanya yang diserahkan pemeliharaannya kepada Abdullah b. Uraiqiz sampai nanti tiba waktunya diperlukan.
Pada malam akan hijrah itu pula Muhammad membisikkan kepada Ali b. Abi Talib supaya memakai mantelnya yang hijau dari Hadzramaut dan supaya berbaring di tempat tidurnya. Dimintanya supaya sepeninggalnya nanti ia tinggal dulu di Mekah menyelesaikan barang-barang amanat orang yang dititipkan kepadanya. Demikianlah, ketika pemuda-pemuda Quraisy mengintip ke tempat tidur Nabi Saw, mereka melihat sesosok tubuh di tempat tidur itu dan mengira bahwa Nabi Saw masih tidur.
Bersembunyi di Gua Thaur
Menjelang larut malam, Rasulullah Saw keluar tanpa setahu mereka. Bersama-sama dengan Abu Bakr beliau bertolak ke arah selatan menuju gua Thaur. Hanya empat orang yang tahu keberadaan beliau berdua, yaitu Abdullah b. Abu Bakr, Aisyah dan Asma (puteri-puteri Abu Bakr), serta pembantu mereka ‘Amir b. Fuhaira. Bila hari sudah sore Asma, datang membawakan makanan buat mereka. Abdullah setiap hari berada di tengah-tengah Quraisy untuk memantau perkembangan yang terjadi untuk disampaikan pada beliau pada malam harinya. ‘Amir tugasnya menggembalakan kambing Abu Bakr’, memerah susu dan menyiapkan daging. Apabila Abdullah b. Abi Bakr kembali dari tempat mereka bersembunyi di gua itu, datang ‘Amir mengikutinya dengan kambingnya guna menghapus jejaknya.
Sementara itu pihak Quraisy berusaha sungguh-sungguh mencari mereka. Pemuda-pemuda Quraisy membawa pedang dan tongkat sambil mondar-mandir mencari ke segenap penjuru. Ketika itu mereka bergerak menuju ke gua tempat sembunyi. Lalu orang-orang Quraisy itu datang menaiki gua itu, tapi kemudian ada yang turun lagi. “Kenapa kau tidak menjenguk ke dalam gua?” tanya kawan-kawannya. “Ada sarang laba-laba di tempat itu, yang memang sudah ada sejak sebelum Muhammad lahir,” jawabnya. “Saya melihat ada dua ekor burung dara hutan di lubang gua itu. Jadi saya mengetahui tak ada orang di sana.”
Demikanlah, kalau saja mereka ada yang menengok ke bawah pasti akan melihat beliau berdua. Tetapi orang-orang Quraisy itu makin yakin bahwa dalam gua itu tak ada manusia tatkala dilihatnya ada cabang pohon yang terkulai di mulut gua. Tak ada jalan orang akan dapat masuk ke dalamnya tanpa menghalau dahan-dahan itu. Ketika itulah mereka lalu surut kembali. Rasulullah s.a.w. tinggal dalam gua selama tiga hari tiga malam. Tentang cerita gua ini dikisahkan dalam firman Allah Swt:
“Ingatlah tatkala orang-orang kafir (Quraisy) itu berkomplot membuat rencana terhadap kau, hendak menangkap kau, atau membunuh kau, atau mengusir kau. Mereka membuat rencana dan Allah membuat rencana pula. Allah adalah Perencana terbaik.” (Qur’an, 8: 30) “Kalau kamu tak dapat menolongnya, maka Allah juga Yang telah menolongnya tatkala dia diusir oleh orang-orang kafir (Quraisy). Dia salah seorang dari dua orang itu, ketika keduanya berada dalam gua. Waktu itu ia berkata kepada temannya itu: ‘Jangan bersedih hati, Tuhan bersama kita!’ Maka Tuhan lalu memberikan ketenangan kepadanya dan dikuatkanNya dengan pasukan yang tidak kamu lihat. Dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itu juga yang rendah dan kalam Allah itulah yang tinggi. Dan Allah Maha Kuasa dan Bijaksana.” (Qur’an, 9: 40)
Pada hari ketiga, ketika keadaan sudah tenang, unta kedua orang itu didatangkan. Asma datang makanan. Dikisahkan, Asma merobek ikat pinggangnya lalu sebelahnya dipakai menggantungkan makanan dan yang sebelah lagi diikatkan, sehingga ia lalu diberi nama “dhat’n-nitaqain” (yang bersabuk dua). Mereka kemudian berangkat.
Karena mengetahui pihak Quraisy sangat gigih mencari mereka, maka perjalanan ke Yathrib itu mereka mengambil jalan yang tidak biasa ditempuh orang. Abdullah b. ‘Uraiqit – dari Banu Du’il – sebagai penunjuk jalan, membawa mereka ke arah selatan di bawahan Mekah, kemudian menuju Tihama di dekat pantai Laut Merah. Kedua orang itu beserta penunjuk jalannya sepanjang malam dan di waktu siang berada di atas kendaraan. Memang, Rasulullah Saw sendiri tidak pernah menyangsikan, bahwa Tuhan akan menolongnya, tetapi “jangan kamu mencampakkan diri ke dalam bencana.” Allah menolong hambaNya selama hamba menolong dirinya dan menolong sesamanya.
Suraqa
Ketika itu Quraisy mengadakan sayembara, barangsiapa bisa menyerahkan Muhammad akan diberi hadiah seratus ekor unta. Mereka sangat giat mencari Rasulullah Saw. Ketika terdengar kabar bahwa ada rombongan tiga orang sedang dalam perjalanan, mereka yakin itu adalah Muhammad dan beberapa orang sahabatnya. Suraqa b. Malik b. Ju’syum, salah seorang dari Quraisy, juga ingin memperoleh hadiah seratus ekor unta. Tetapi ia ingin memperoleh hadiah seorang diri saja. Ia mengelabui orang-orang dengan mengatakan bahwa itu bukan Muhammad. Tetapi setelah itu ia segera pulang ke rumahnya. Dipacunya kudanya ke arah yang disebutkan tadi seorang diri.
Demikian bersemangatnya Suraqa mengejar Nabi Saw hingga kudanya dua kali tersungkur ketika hendak mencapai Nabi. Tetapi melihat bahwa ia sudah hampir kedua orang itu, ia tetap memacu kudanya karena rasanya Muhammad sudah di tangan. Akan tetapi kuda itu tersungkur sekali lagi dengan keras sekali, sehingga penunggangnya terpelanting dari punggung binatang itu dan jatuh terhuyung-huyung dengan senjatanya. Suraqa merasa itu suatu alamat buruk jika ia bersikeras mengejar sasarannya itu. Sampai di situ ia berhenti dan hanya memanggil-manggil:
“Saya Suraqa bin Ju’syum! Tunggulah, saya mau bicara. Saya tidak akan melakukan sesuatu yang akan merugikan tuan-tuan.” Setelah kedua orang itu berhenti melihat kepadanya, dimintanya kepada Muhammad supaya menulis sepucuk surat kepadanya sebagai bukti bagi kedua belah pihak. Dengan permintaan Nabi, Abu Bakr lalu menulis surat itu di atas tulang atau tembikar yang lalu dilemparkannya kepada Suraqa. Setelah diambilnya oleh Suraqa surat itu ia kembali pulang. Sekarang bila ada orang mau mengejar Nabi Saw, maka dikaburkan olehnya, sesudah tadinya ia sendiri yang mengejarnya.
Perjalanan Hijrah Rasul Saw
Selama tujuh hari terus-menerus rombongan Rasulullah Saw berjalan, mengaso di bawah panas membara musim kemarau dan berjalan lagi sepanjang malam mengarungi lautan padang pasir dengan perasaan kuatir. Hanya karena adanya iman kepada Allah Swt membuat hati dan perasaan mereka terasa lebih aman. Ketika sudah memasuki daerah kabilah Banu Sahm dan datang pula Buraida kepala kabilah itu menyambut mereka, barulah perasaan kuatir dalam hatinya mulai hilang. Jarak mereka dengan Yathrib kini sudah dekati.
Selama mereka dalam perjalanan yang sungguh meletihkan itu, berita-berita tentang hijrah Nabi dan sahabatnya yang akan menyusul kawan-kawan yang lain, sudah tersiar di Yathrib. Penduduk kota ini sudah mengetahui, betapa kedua orang ini mengalami kekerasan dari Quraisy yang terus-menerus membuntuti. Oleh karena itu semua kaum Muslimin tetap tinggal di tempat itu menantikan kedatangan Rasulullah dengan hati penuh rindu ingin melihatnya, ingin mendengarkan tutur katanya. Banyak di antara mereka itu yang belum pernah melihatnya, meskipun sudah mendengar tentang keadaannya dan mengetahui pesona bahasanya serta keteguhan pendiriannya. Semua itu membuat mereka rindu sekali ingin bertemu, ingin melihatnya.
Masyarakat Madinah
Tersebarnya Islam di Yathrib dan keberanian kaum Muslimin di kota itu sebelum hijrah Nabi ke tempat tersebut sama sekali di luar dugaan kaum Muslimin Mekah. Beberapa pemuda Muslimin bahkan berani mempermainkan berhala-berhala kaum musyrik di sana. Seseorang yang bernama ‘Amr bin’l-Jamuh mempunyai sebuah patung berhala terbuat daripada kayu yang dinamainya Manat, diletakkan di daerah lingkungannya seperti biasa dilakukan oleh kaum bangsawan. ‘Amr ini adalah seorang pemimpin Banu Salima dan dari kalangan bangsawan mereka pula. Sesudah pemuda-pemuda golongannya itu masuk Islam malam-malam mereka mendatangi berhala itu lalu di bawanya dan ditangkupkan kepalanya ke dalam sebuah lubang yang oleh penduduk Yathrib biasa dipakai tempat buang air. Bila pagi-pagi berhala itu tidak ada ‘Amr mencarinya sampai diketemukan lagi, kemudian dicucinya dan dibersihkan lalu diletakkannya kembali di tempat semula, sambil ia menuduh-nuduh dan mengancam. Tetapi pemuda-pemuda itu mengulangi lagi perbuatannya mempermainkan Manat ‘Amr itu, dan diapun setiap hari mencuci dan membersihkannya. Setelah ia merasa kesal karenanya, diambilnya pedangnya dan digantungkannya pada berhala itu seraya ia berkata: “Kalau kau memang berguna, bertahanlah, dan ini pedang bersama kau.” Tetapi keesokan harinya ia sudah kehilangan lagi, dan baru diketemukannya kembali dalam sebuah sumur tercampur dengan bangkai anjing. Pedangnya sudah tak ada lagi. Sesudah kemudian ia diajak bicara oleh beberapa orang pemuka-pemuka masyarakatnya dan sesudah melihat dengan mata kepala sendiri betapa sesatnya hidup dalam syirik dan paganisma itu, yang hakekatnya akan mencampakkan jiwa manusia ke dalam jurang yang tak patut lagi bagi seorang manusia, iapun masuk Islam.
Mesjid Quba’
Ketika rombongan Rasulullah Saw sampai di Quba’, mereka tinggal empat hari ia di sana dan membangun mesjid Quba’. Di tempat ini Ali b. Abi-Talib ra menyusul, setelah mengembalikan barang-barang amanat – yang dititipkan oleh rasulullah Saw – kepada pemilik-pemiliknya di Mekah. Ali ra menempuh perjalanannya ke Yathrib dengan berjalan kaki. Malam hari ia berjalan, siangnya bersembunyi. Perjuangan yang sangat meletihkan itu ditanggungnya selama dua minggu penuh, yaitu untuk menyusul saudara-saudaranya seagama.
Sampai di Madinah (Yathrib)
Demikanlah akhirnya rombongan Rasulullah selamat sampai Madinah. Hari itu adalah hari Jum’at dan Muhammad berjum’at di Medinah. Di tempat itulah, ke dalam mesjid yang terletak di perut Wadi Ranuna itulah kaum Muslimin datang, masing-masing berusaha ingin melihat serta mendekatinya. Mereka ingin memuaskan hati terhadap orang yang selama ini belum pernah mereka lihat, hati yang sudah penuh cinta dan rangkuman iman akan risalahnya, dan yang selalu namanya disebut pada setiap kali sembahyang. Orang-orang terkemuka di Medinah menawarkan diri supaya ia tinggal pada mereka.
Tetapi ia dengan halus meminta maaf kepada mereka. Kembali ia ke atas unta betinanya, dipasangnya tali keluannya, lalu ia berjalan melalui jalan-jalan di Yathrib, di tengah-tengah kaum Muslimin yang ramai menyambutnya dan memberikan jalan sepanjang jalan yang diliwatinya itu. Seluruh penduduk Yathrib, baik Yahudi maupun orang-orang pagan menyaksikan adanya hidup baru yang bersemarak dalam kota mereka itu, menyaksikan kehadiran Rasulullah Saw, seorang pendatang baru, orang besar yang telah mempersatukan Aus dan Khazraj, yang selama itu saling bermusuhan, dan saling berperang.
Sesampainya ke sebuah tempat penjemuran kurma kepunyaan dua orang anak yatim dari Banu’n-Najjar, unta itu berlutut (berhenti). Ketika itulah Rasul turun dari untanya dan bertanya: “Kepunyaan siapa tempat ini?” tanyanya. “Kepunyaan Sahl dan Suhail b. ‘Amr,” jawab Ma’adh b. ‘Afra’. Dia adalah wali kedua anak yatim itu. Ia akan membicarakan soal tersebut dengan kedua anak itu supaya mereka puas. Dimintanya kepada Muhammad supaya di tempat itu didirikan mesjid. Muhammad mengabulkan permintaan tersebut dan dimintanya pula supaya di tempat itu didirikan mesjid dan tempat-tinggalnya.
Nenek Moyang Rasulullah SAW
Rasulullah SAW adalah keturunan Nabi Ibrahim as, dari perkawinannya dengan Hajar,istri yang kedua. Perkawinan ini mendapatkan putra, Nabi Ismail as.
Suku Quraisy adalah keturunan Fihr, yang dinamakan juga Quraisy, yang berarti saudagar. Ia hidup di abad 3 Masehi. Fihr adalah keturunan Ma’ad. Ma’ad adalah anak Adnan yang merupakan keturunan langsung dari Nabi Ismail as.
Qushay, salah seorang keturunan Fihr yang hidup di abad 5 Masehi, berhasil mempersatukan semua suku Quraisy, dan menguasai seluruh Hijaz, yaitu daerah selatan Jazirah Arab, yang di dalamnya terdapat kota Makkah, Madinah, Ta’if, dan Jeddah. Ia memperbaiki Ka’bah, mendirikan istana, menarik pajak, dan menyediakan makan serta air peziarah Ka’bah yang datang setahun sekali. Tradisi ziarah ini sekarang, di masa Islam, menjadi ibadah haji.. Qushai meninggal tahun 480 M. Posisinya digantikan putranya, Abdud Dar.
Anak kedua Qushai, Abdul Manaf, lebih disegani warga. Anak Abdul Manaf adalah Muthalib, serta kembar siam Hasyim dan Abdu Syam yang harus dipisah dengan pisau. Anak-anak Abdul Manaf mencoba merebut hak menjaga Baitullah dari anak-anak Abdud-Dar yang kurang berwibawa di masyarakat.
Sepeninggal Abdud Dar, terjadilah sengketa antara keturunan Abdud Dar dan anak-anak Abdul Manaf. Selanjutnya diadakan pembagian tugas. Abdus Syam, anak Abdul Manaf, bertugas menyediakan air dan mengumpulkan pajak. Sedangkan cucu-cucu Abdud Daar bertugas menjaga Ka’bah, istana, dan bendera peperangan.
Setelah beberapa waktu Abdus Syam menyerahkan tugas ini kepada adiknya, Hasyim. Hasyim merupakan seorang tokoh terkenal di negeri Arab pada waktu itu karena keberanian dan kejujurannya. Anak Abdu Syam, Umayah, mencoba merebut mandat itu. Hakim memutuskan bahwa hak tersebut tetap pada Hasyim. Umayah, sesuai perjanjian, dipaksa meninggalkan Makkah. Salah seorang keturunan Umayah adalah Abu Sofyan. Putra Abu Sofyan, Muawiyah, kelak mendirikan dinasti Umayah.
Hasyim menikah dengan Salma binti Amr dari Bani Khazraj, perempuan sangat terhormat di Yatsrib atau Madinah. Mereka berputra Syaibah, yang dikenal juga dengan nama Abdul Muthalib. Abdul Muthalib inilah kakek Rasulullah SAW.
Hasyim meninggal tahun 510 M, dan posisinya digantikan saudaranya, Muthalib. Sepeninggal Muthalib tanggung jawab kekuasaannya dipegang oleh Abdul Muthalib. Abdul Muthalib mula-mula tinggal di Madinah sampai Muthalib yang menggantikan Hasyim wafat.
Ditulis dalam Rosulullah Saw.
sumber
http://zidniagus.wordpress.com/2009/11/08/
Kelahiran Nabi SAW
Usia Abd’l-Muttalib sudah hampir mencapai tujuhpuluh tahun atau lebih tatkala Abrahah mencoba menyerang Mekah dan menghancurkan Rumah Purba. Ketika itu umur Abdullah anaknya sudah duapuluh empat tahun, dan sudah tiba masanya dikawinkan. Pilihan Abd’l-Muttalib jatuh kepada Aminah bint Wahb bin Abd Manaf bin Zuhra, – pemimpin suku Zuhra ketika itu yang sesuai pula usianya dan mempunyai kedudukan terhormat.
Pada hari perkawinan Abdullah dengan Aminah itu, Abd’l-Muttalib juga kawin dengan Hala, puteri pamannya. Dari perkawinan ini lahirlah Hamzah, paman Nabi dan yang seusia dengan dia. Abdullah dengan Aminah tinggal selama tiga hari di rumah Aminah, sesuai dengan adat kebiasaan Arab bila perkawinan dilangsungkan di rumah keluarga pengantin puteri. Sesudah itu mereka pindah bersama-sama ke keluarga Abd’l-Muttalib.
Beberapa saat setelah perkawinan, Abdullahpun pergi dalam suatu usaha perdagangan ke Suria dengan meninggalkan isteri yang dalam keadaan hamil. Dalam perjalanannya itu Abdullah tinggal selama beberapa bulan. Dalam pada itu ia pergi juga ke Gaza dan kembali lagi. Kemudian ia singgah ke tempat saudara-saudara ibunya di Medinah sekadar beristirahat sesudah merasa letih selama dalam perjalanan. Sesudah itu ia akan kembali pulang dengan kafilah ke Mekah. Akan tetapi kemudian ia menderita sakit di tempat saudara-saudara ibunya itu. Kawan-kawannyapun pulang lebih dulu meninggalkan dia.
Abd’l-Muttalibmengutus Harith – anaknya yang sulung – ke Medinah, supaya membawa kembali bila ia sudah sembuh. Tetapi sesampainya di Medinah ia mengetahui bahwa Abdullah sudah meninggal dan sudah dikuburkan pula, sebulan sesudah kafilahnya berangkat ke Mekah. Kembalilah Harith kepada keluarganya dengan membawa perasaan pilu atas kematian adiknya itu. Rasa duka dan sedih menimpa hati Abd’l-Muttalib, menimpa hati Aminah, karena ia kehilangan seorang suami yang selama ini menjadi harapan kebahagiaan hidupnya.Peninggalan Abdullah sesudah wafat terdiri dari lima ekor unta, sekelompok ternak kambing dan seorang budak perempuan, yaitu Umm Ayman – yang kemudian menjadi pengasuh Nabi. Boleh jadi peninggalan serupa itu bukan berarti suatu tanda kekayaan; tapi tidak juga merupakan suatu kemiskinan.
Aminah melahirkan beberapa bulan kemudian. Selesai bersalin dikirimnya berita kepada Abd’l Muttalib di Ka’bah, bahwa ia melahirkan seorang anak laki-laki. Alangkah gembiranya orang tua itu setelah menerima berita. Sekaligus ia teringat kepada Abdullah anaknya. Gembira sekali hatinya karena ternyata pengganti anaknya sudah ada. Cepat-cepat ia menemui menantunya itu, diangkatnya bayi itu lalu dibawanya ke Ka’bah. Ia diberi nama Muhammad. Nama ini tidak umum di kalangan orang Arab tapi cukup dikenal.
Mengenai tahun ketika Muhammad dilahirkan, beberapa ahli berlainan pendapat. Sebagian besar mengatakan pada Tahun Gajah (570 Masehi). Ibn Abbas mengatakan ia dilahirkan pada Tahun Gajah pada tanggal duabelas Rabiul Awal. Ini adalah pendapat Ibn Ishaq dan yang lain. Pada hari ketujuh kelahirannya itu Abd’l-Muttalib minta disembelihkan unta. Hal ini kemudian dilakukan dengan mengundang makan masyarakat Quraisy. Setelah mereka mengetahui bahwa anak itu diberi nama Muhammad, mereka bertanya-tanya mengapa ia tidak suka memakai nama nenek moyang. “Kuinginkan dia akan menjadi orang yang Terpuji,1 bagi Tuhan di langit dan bagi makhlukNya di bumi,” jawab Abd’l Muttalib.
Masa Kecil Nabi SAW
Sudah menjadi kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab di Mekah bahwa anak yang baru lahir disusukan kepadakepada salah seorang Keluarga Sa’d. Sementara masih menunggu orang yang akan menyusukan itu Aminah menyerahkan anaknya kepada Thuwaiba, budak perempuan pamannya, Abu Lahab. Selama beberapa waktu ia disusukan, seperti Hamzah yang juga kemudian disusukannya. Jadi mereka adalah saudara susuan. Thuwaiba hanya beberapa hari saja menyusukan.
Akhirnya datang juga wanita-wanita Keluarga Sa’d yang akan menyusukan itu ke Mekah. Mereka memang mencari bayi yang akan mereka susukan. Akan tetapi mereka menghindari anak-anak yatim, karena mereka mengharapkan upah yang lebih. Sedang dari anak-anak yatim sedikit sekali yang dapat mereka harapkan. Oleh karena itu di antara mereka itu tak ada yang mau mendatangi Muhammad. Salah seorang dari mereka, Halimah bint Abi-Dhua’ib, ternyata tidak mendapat bayi lain sebagai gantinya. Setelah mereka akan meninggalkan Mekah, Halimah memutuskan untuk mengambil Muhammad. Dia bercerita, bahwa sejak diambilnya anak itu ia merasa mendapat berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan susunyapun bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya. Selama dua tahun Muhammad tinggal di sahara, disusukan oleh Halimah dan diasuh oleh Syaima’, puterinya. Udara sahara dan kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat sekali menjadi besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan badannya.
Setelah cukup dua tahun dan tiba masanya disapih, Halimah membawa anak itu kepada ibunya dan sesudah itu membawanya kembali ke pedalaman. Hal ini dilakukan karena kehendak ibunya, kata sebuah keterangan, dan keterangan lain mengatakan karena kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa kembali supaya lebih matang, juga memang dikuatirkan dari adanya serangan wabah Mekah. Dua tahun lagi anak itu tinggal di sahara, menikmati udara pedalaman yang jernih dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.
Pada masa itu, sebelum usianya mencapai tiga tahun, ketika itulah terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang. Yakni, bahwa sementara ia dengan saudaranya yang sebaya sesama anak-anak itu sedang berada di belakang rumah di luar pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak yang dari Keluarga Sa’d itu kembali pulang sambil berlari, dan berkata kepada ibu-bapanya: “Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil oleh dua orang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan, perutnya dibedah, sambil di balik-balikan.” Dan tentang Halimah ini ada juga diceritakan, bahwa mengenai diri dan suaminya ia berkata: “Lalu saya pergi dengan ayahnya ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri. Mukanya pucat-pasi. Kuperhatikan dia. demikian juga ayahnya. Lalu kami tanyakan: “Kenapa kau, nak?” Dia menjawab: “Aku didatangi oleh dua orang laki-laki berpakaian putih. Aku di baringkan, lalu perutku di bedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu aku apa yang mereka cari.”
Keluarga itu kemudian ketakutan, kalau-kalau terjadi sesuatu pada anak itu. Sesudah itu, dibawanya anak itu kembali kepada ibunya di Mekah. Atas peristiwa ini Ibn Ishaq membawa sebuah Hadis Nabi sesudah kenabiannya. Dalam riwayat yang diceritakan Ibn Ishaq, dikatakan bahwa sebab dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua malaikat itu, melainkan ada beberapa orang Nasrani Abisinia memperhatikan Muhammad dan menanyakan kepada Halimah tentang anak itu. Dilihatnya belakang anak itu, lalu mereka berkata: “Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di negeri kami. Anak ini akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui keadaannya.” Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri dari mereka dengan membawa anak itu.
Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan yang indah sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu Halimah dan keluarganya tempat dia menumpahkan rasa kasih sayang dan hormat selama hidupnya itu. Penduduk daerah itu pernah mengalami suatu masa paceklik sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana Halimah kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta Khadijah berupa unta yang dimuati air dan empat puluh ekor kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah sebagai tanda penghormatan. Ketika Syaima, puterinya berada di bawah tawanan bersama-sama pihak Hawazin setelah Ta’if dikepung, kemudian dibawa kepada Muhammad, ia segera mengenalnya. Ia dihormati dan dikembalikan kepada keluarganya sesuai dengan keinginan wanita itu.
Kemudian Abd’l-Muttalib yang bertindak mengasuh cucunya itu. Ia memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala kasih-sayangnya kepada cucu ini. Biasanya buat orang tua itu – pemimpin seluruh Quraisy dan pemimpin Mekah – diletakkannya hamparan tempat dia duduk di bawah naungan Ka’bah, dan anak-anaknya lalu duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan kepada orang tua. Tetapi apabila Muhammad yang datang maka didudukkannya ia di sampingnya diatas hamparan itu sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat betapa besarnya rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya di belakang dari tempat mereka duduk itu.
Kematian Ibunda
Ketika Nabi berusia 6 tahun, Aminah membawanya ke Medinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga Najjar. Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Medinah kepada anak itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali ia merasakan sebagai anak yatim. Dan barangkali juga ibunya pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta itu, yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama, kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari pihak ibu.
Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah bersama rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa’,2 ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan pula di tempat itu. Anak itu oleh Umm Aiman dibawa pulang ke Mekah, pulang menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa kehilangan; sudah ditakdirkan menjadi anak yatim. Terasa olehnya hidup yang makin sunyi, makin sedih. Baru beberapa hari yang lalu ia mendengar dari Ibunda keluhan duka kehilangan Ayahanda semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia melihat sendiri dihadapannya, ibu pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayah dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu. Lebih-lebih lagi kecintaan Abd’l-Muttalib kepadanya. Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam Qur’anpun disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu: “Bukankah engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya orang yang akan melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu ditunjukkanNya jalan itu?” (Qur’an, 93: 6-7)
Nabi kemudian di bawah asuhan kakeknya, Abd’l-Muttalib. Tetapi orang tua itu juga meninggal tak lama kemudian, dalam usia delapanpuluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru berumur delapan tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.
Bersama Abu Talib
Kemudian pengasuhan Muhammad di pegang oleh Abu Talib, sekalipun dia bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus rifada (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Talib mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan kalau Abd’l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepada Abu Talib. Abu Talib mencintai kemenakannya itu sama seperti Abd’l-Muttalib juga. Karena kecintaannya itu ia mendahulukan kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah yang lebih menarik hati pamannya.
Perjalanan Pertama Ke Syam
Ketika usia Nabi baru duabelas tahun, ia turut dalam rombongan kafilah dagang bersama Abu Talib ke negeri Syam. Diceritakan, bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira, dan bahwa rahib itu telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikuatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadap dia.
Dalam perjalanan itulah, Nabiyullah mendapat pengalaman dan wawasan yang berguna. Beliau dapat melihat luasnya padang pasir, menatap bintang-bintang yang berkilauan di langit yang jernih cemerlang. Dilaluinya daerah-daerah Madyan, Wadit’l-Qura serta peninggalan bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dsegala cerita orang-orang Arab dan penduduk pedalaman tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau. Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun yang lebat dengan buab-buahan yang sudah masak, yang akan membuat ia lupa akan kebun-kebun di Ta’if serta segala cerita orang tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya dengan dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di sekeliling Mekah itu. Di Syam Muhammad mengetahui berita-berita tentang Kerajaan Rumawi dan agama Kristennya, didengarnya berita tentang Kitab Suci mereka serta oposisi Persia dari penyembah api terhadap mereka dan persiapannya menghadapi perang dengan Persia. Sekalipun usianya baru dua belas tahun, tapi dia sudah mempunyai persiapan kebesaran jiwa, kecerdasan otak, tinjauan yang begitu dalam, ingatan yang cukup kuat, serta segala sifat-sifat semacam itu yang diberikan Allah kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima risalah (misi) maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat ke sekeliling, dengan sikap menyelidiki, meneliti. Ia tidak puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?
Masa Remaja Nabi SAW
Muhammad yang tinggal dengan pamannya, menerima apa adanya. Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusia dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Mekah dengan keluarga, kadang pergi bersama mereka ke pekan-pekan yang berdekatan dengan ‘Ukaz, Majanna dan Dhu’l-Majaz, mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan oleh penyair-penyair Mudhahhabat dan Mu’allaqat, yang melukiskan lagu cinta dan puisi-puisi kebanggaan, melukiskan nenek moyang mereka, peperangan mereka, kemurahan hati dan jasa-jasa mereka. Didengarnya ahli-ahli pidato di antaranya orang-orang Yahudi dan Nasrani yang membenci paganisma Arab. Mereka bicara tentang Kitab-kitab Suci Isa dan Musa, dan mengajak kepada kebenaran menurut keyakinan mereka. Dinilainya semua itu dengan hati nuraninya, dilihatnya ini lebih baik daripada paganisma yang telah menghanyutkan keluarganya itu. Tetapi tidak sepenuhnya ia merasa lega.
Dengan demikian sejak muda-belia takdir telah mengantarkannya ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat mula pertama datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia menyampaikan risalahNya itu. Yakni risalah kebenaran dan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Kalau Muhammad sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir dengan pamannya Abu Talib, sudah mendengar para penyair, ahli-ahli pidato membacakan sajak-sajak dan pidato-pidato dengan keluarganya dulu di pekan sekitar Mekah selama bulan-bulan suci, maka ia juga telah mengenal arti memanggul senjata, ketika ia mendampingi paman-pamannya dalam Perang Fijar.
Perang Fijar
Perang Fijar bermula dari peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Barradz bin Qais dari kabilah Kinana kepada ‘Urwa ar-Rahhal bin ‘Utba dari kabilah Hawazin pada bulan suci yang sebenarnya dilarang untuk berperang. Seorang pedagang, Nu’man bin’l-Mundhir, setiap tahun mengirimkan sebuah kafilah dari Hira ke ‘Ukaz, tidak jauh dari ‘Arafat. Barradz menginginkan membawa kafilah itu ke bawah pengawasan kabilah Kinana. Demikian juga ‘Urwa menginginkan mengiringi kafilah itu. Nu’man memilih ‘Urwa (Hawazin), dan hal ini menimbulkan kejengkelan Barradz (Kinana). Ia kemudian mengikutinya dari belakang, lalu membunuhnya dan mengambil kabilah itu. Maka terjadilah perang antara mereka itu. Perang ini hanya beberapa hari saja setiap tahun, tetapi berlangsung selama empat tahun terus-menerus dan berakhir dengan suatu perdamaian model pedalaman, yaitu yang menderita korban manusia lebih kecil harus membayar ganti sebanyak jumlah kelebihan korban itu kepada pihak lain. Maka dengan demikian Quraisy telah membayar kompensasi sebanyak duapuluh orang Hawazin. Perang fijar ini terjadi ketika Nabi berusia antara limabelas tahun sampai duapuluh tahun.
Beberapa tahun sesudah kenabiannya Rasulullah menyebutkan tentang Perang Fijar itu dengan berkata: “Aku mengikutinya bersama dengan paman-pamanku, juga ikut melemparkan panah dalam perang itu; sebab aku tidak suka kalau tidak juga aku ikut melaksanakan.”
Perang Fijar itu berlangsung hanya beberapa hari saja tiap tahun. Sedang selebihnya masyarakat Arab kembali ke pekerjaannya masing-masing. Pahit-getirnya peperangan yang tergores dalam hati mereka tidak akan menghalangi mereka dari kegiatan perdagangan, menjalankan riba, minum minuman keras serta pelbagai macam kesenangan dan hiburan sepuas-puasnya
Akan tetapi Nabi telah menjauhi semua itu, dan sejarah cukup menjadi saksi. Yang terang ia menjauhi itu bukan karena tidak mampu mencapainya. Mereka yang tinggal di pinggiran Mekah, yang tidak mempunyai mata pencarian, hidup dalam kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam hiburan itu. Jiwa besarnya yang selalu mendambakan kesempurnaan, itu lah yang menyebabkan dia menjauhi foya-foya, yang biasa menjadi sasaran utama pemduduk Mekah. Ia mendambakan cahaya hidup yang akan lahir dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini dibuktikan oleh julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa ia kanak-kanak gejala kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hati sudah tampak, sehingga penduduk Mekah semua memanggilnya Al-Amin (artinya ‘yang dapat dipercaya’).
Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir, ialah pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam masa mudanya itu. Dia menggembalakan kambing keluarganya dan kambing penduduk Mekah. Dengan rasa gembira ia menyebutkan saat-saat yang dialaminya pada waktu menggembala itu. Di antaranya ia berkata: “Nabi-nabi yang diutus Allah itu gembala kambing.” Dan katanya lagi: “Musa diutus, dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala kambing keluargaku di Ajyad.” Gembala kambing yang berhati terang itu, dalam udara yang bebas lepas di siang hari, dalam kemilau bintang bila malam sudah bertahta, menemukan suatu tempat yang serasi untuk pemikiran dan permenungannya.
Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari segala pemikiran nafsu manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas di hadapannya. Oleh karena itu, dalam perbuatan dan tingkah-lakunya Muhammad terhindar dari segala penodaan nama yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Mekah, dan memang begitu adanya: Al-Amin. Pada suatu hari ia ingin bermain-main seperti pemuda-pemuda lain. Hal ini dikatakannya kepada kawannya pada suatu senja, bahwa ia ingin turun ke Mekah, bermain-main seperti para pemuda di gelap malam, dan dimintanya kawannya menjagakan kambing ternaknya itu. Tetapi Allah SWT selalu melindunginya, sesampainya di ujung Mekah, perhatiannya tertarik pada suatu pesta perkawinan dan dia hadir di tempat itu. Tetapi tiba-tiba ia tertidur. Pada malam berikutnya datang lagi ia ke Mekah, dengan maksud yang sama. Terdengar olehnya irama musik yang indah, seolah turun dari langit. Ia duduk mendengarkan. Lalu tertidur lagi sampai pagi.
Kenikmatan yang dirasakan Muhammad sejak masa pertumbuhannya yang mula-mula yang telah diperlihatkan dunia sejak masa mudanya adalah kenangan yang selalu hidup dalam jiwanya, yang mengajak orang hidup tidak hanya mementingkan dunia. Ini dimulai sejak kematian ayahnya ketika ia masih dalam kandungan, kemudian kematian ibunya, kemudian kematian kakeknya. Kenikmatan demikian ini tidak memerlukan harta kekayaan yang besar, tetapi memerlukan suatu kekayaan jiwa yang kuat. sehingga orang dapat mengetahui: bagaimana ia memelihara diri dan menyesuaikannya dengan kehidupan batin.
Pernikahan Dengan Khadijah ra
Ketika Nabi itu berumur duapuluh lima tahun. Abu Talib mendengar bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam. Abu Talib lalu menghubungi Khadijah untuk mengupah Muhammad untuk menjalankan perdagangannya. Khadijah setuju dengan upah empat ekor unta. Setelah mendapat nasehat paman-pamannya Muhammad pergi dengan Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir kafilah itupun berangkat menuju Syam, dengan melalui Wadi’l-Qura, Madyan dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang dulu pernah dilalui Muhammad dengan pamannya Abu Talib.
Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad mampu benar memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara perdagangan yang lebih banyak menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter yang manis dan perasaannya yang luhur ia dapat menarik kecintaan dan penghormatan Maisara kepadanya. Setelah tiba waktunya mereka akan kembali, mereka membeli segala barang dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah. Setelah kembali di Mekah, Muhammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang perjalanannya serta laba yang diperolehnya, demikian juga mengenai barang-barang Syam yang dibawanya. Khadijah gembira dan tertarik sekali mendengarkan. sesudah itu, Maisara bercerita juga tentang Muhammad, betapa halusnya wataknya, betapa tingginya budi-pekertinya. Hal ini menambah pengetahuan Khadijah di samping yang sudah diketahuinya sebagai pemuda Mekah yang besar jasanya.
Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini telah berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia – yang sudah berusia empatpuluh tahun, dan yang sebelum itu telah menolak lamaran pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy – tertarik juga hatinya mengawini pemuda ini, yang tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia membicarakan hal itu kepada saudaranya yang perempuan – kata sebuah sumber, atau dengan sahabatnya, Nufaisa bint Mun-ya – kata sumber lain. Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata: “Kenapa kau tidak mau kawin?” “Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan,” jawab Muhammad. “Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta, terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kauterima?” “Siapa itu?” Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata: “Khadijah.” “Dengan cara bagaimana?” tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri berkenan kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah sudah menolak permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy. Setelah atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan: “Serahkan hal itu kepadaku,” maka iapun menyatakan persetujuannya.
Tak lama kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga Khadijah guna menentukan hari perkawinan. Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman Khadijah, Umar bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah meninggal sebelum Perang Fijar. Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad. Dimulainya kehidupan itu sebagai suami-isteri dan ibu-bapa, suami-isten yang harmonis dan sedap dari kedua belah pihak, dan sebagai ibu-bapa yang telah merasakan pedihnya kehilangan anak sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan ibu-bapa semasa ia masih kecil.
Dari Nikah Sampai Wahyu Pertama Rosulullah saw
Rumah Tangga Rasulullah Saw
DENGAN duapuluh ekor unta muda sebagai mas kawin Muhammad melangsungkan perkawinannya itu dengan Khadijah. Ia pindah ke rumah Khadijah dalam memulai hidup barunya itu, hidup suami-isteri dan ibu-bapa, saling mencintai cinta sebagai pemuda berumur duapuluh lima tahun. Ia tidak mengenal nafsu muda yang tak terkendalikan, juga ia tidak mengenal cinta buta yang dimulai seolah nyala api yang melonjak-lonjak untuk kemudian padam kembali. Dari perkawinannya itu ia beroleh beberapa orang anak, laki-laki dan perempuan. Kematian kedua anaknya, al-Qasim dan Abdullah at-Tahir at-Tayyib telah menimbulkan rasa duka yang dalam sekali. Anak-anak yang masih hidup semua perempuan. Alangkah besarnya pengaruh yang terjalin dalam hidup kasih-sayang antara dia dengan Khadijah sebagai isteri yang sungguh setia itu. Pergaulan Muhammad dengan penduduk Mekah tidak terputus, juga partisipasinya dalam kehidupan masyarakat hari-hari.
Selama itu Muhammad tetap bergaul dengan penduduk Mekah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Ia menemukan dalam diri Khadijah teladan wanita terbaik; wanita yang subur dan penuh kasih, menyerahkan seluruh dirinya kepadanya, dan telah melahirkan anak-anak laki-laki: al-Qasim dan Abdullah yang dijuluki at-Tahir dan at-Tayyib, serta puteri-puteri: Zainab, Ruqayya, Umm Kulthum dan Fatimah. Tentang al-Qasim dan Abdullah tidak banyak yang diketahui, kecuali disebutkan bahwa mereka mati kecil pada zaman Jahiliah dan tak ada meninggalkan sesuatu yang patut dicatat. Tetapi yang pasti kematian itu meninggalkan bekas yang dalam pada orangtua mereka. Demikian juga pada diri Khadijah terasa sangat memedihkan hatinya.
Kepada anak-anaknya yang perempuan juga Muhammad memberikan perhatian. Setelah dewasa, Zainab yang sulung dikawinkan dengan Abu’l-’Ash bin’r-Rabi’ b.’Abd Syams – ibunya masih bersaudara dengan Khadijah – seorang pemuda yang dihargai masyarakat karena kejujuran dan suksesnya dalam dunia perdagangan. Perkawinan ini serasi juga, sekalipun kemudian sesudah datangnya Islam – ketika Zainab akan hijrah dan Mekah ke Medinah – mereka terpisah. Ruqayya dan Umm Kulthum dikawinkan dengan ‘Utba dan ‘Utaiba anak-anak Abu Lahab, pamannya. Kedua isteri ini sesudah Islam terpisah dari suami mereka, karena Abu Lahab menyuruh kedua anaknya itu menceraikan isteri mereka, yang kemudian berturut-turut menjadi isteri Usman. Ketika itu Fatimah masih kecil dan perkawinannya dengan Ali baru sesudah datangnya Islam.
Pembangunan Ka’bah
Ketika Muhammad Saw berusia tigapuluh lima tahun menurut catatan Ibn Ishaq, pada waktu itu masyarakat sedang sibuk karena bencana banjir besar yang turun dari gunung, pernah menimpa dan meretakkan dinding-dinding Ka’bah yang memang sudah rapuk. Penduduk Mekah kemudian membangun Ka’bah kembali. Sudut-sudut Ka’bah itu oleh Quraisy dibagi empat bagian tiap kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak dan dibangun kembali. Mereka ramai-ramai merombaknya dan memindahkan batu-batu yang ada. Dan Muhammad ikut pula membawa batu itu. Setelah mereka berusaha membongkar batu hijau yang terdapat di situ dengan pacul tidak berhasil, dibiarkannya batu itu sebagai fondasi bangunan. Dan gunung-gunung sekitar tempat itu sekarang orang-orang Quraisy mulai mengangkuti batu-batu granit berwarna biru, dan pembangunanpun segera dimulai. Sesudah bangunan itu setinggi orang berdiri dan tiba saatnya meletakkan Hajar Aswad yang disucikan di tempatnya semula di sudut timur, maka timbullah perselisihan di kalangan Quraisy, siapa yang seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu di tempatnya.
Demikian memuncaknya perselisihan itu sehingga hampir saja timbul perang saudara karenanya. Keadaan mereda setelah Abu Umayya bin’l-Mughira dari Banu Makhzum, orang yang tertua di antara mereka, dihormati dan dipatuhi, berkata kepada mereka: “Serahkanlah putusan kamu ini di tangan orang yang pertama sekali memasuki pintu Shafa ini.” Tatkala mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki tempat itu, mereka berseru: “Ini al-Amin; kami dapat menerima keputusannya.” Lalu mereka menceritakan peristiwa itu kepadanya. Iapun mendengarkan dan sudah melihat di mata mereka betapa berkobarnya api permusuhan itu. Ia berpikir sebentar, lalu katanya: “Kemarikan sehelai kain,” katanya. Setelah kain dibawakan dihamparkannya dan diambilnya batu itu lalu diletakkannya dengan tangannya sendiri, kemudian katanya; “Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini.” Mereka bersama-sama membawa kain tersebut ke tempat batu itu akan diletakkan. Lalu Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain dan meletakkannya di tempatnya. Dengan demikian perselisihan itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan.
Ka’bah dibangun sampai setinggi delapanbelas hasta (± 11 meter), dan ditinggikan dari tanah sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau melarang orang masuk. Di dalam itu mereka membuat enam batang tiang dalam dua deretan dan di sudut barat sebelah dalam dipasang sebuah tangga naik sampai ke teras di atas lalu meletakkan Hubal (berhala mereka) di dalam Ka’bah. Juga di tempat itu diletakkan barang-barang berharga lainnya, yang sebelum dibangun dan diberi beratap menjadi sasaran pencurian.
Wahyu Pertama
Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab masa itu bahwa golongan berpikir mereka selama beberapa waktu tiap tahun menjauhkan diri dari keramaian orang, berkhalwat dan mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan bertapa dan berdoa, mengharapkan diberi rejeki dan pengetahuan. Pengasingan untuk beribadat semacam ini mereka namakan tahannuf dan tahannuth. Demikian juga halnya dengan Muhammad Saw. Ia mengasingkan diri guna mendalami pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam dirinya. Ia mendapatkan ketenangan dalam din-nya serta obat penawar hasrat hati yang ingin menyendiri, ingin mencari jalan memenuhi kerinduannya yang selalu makin besar, ingin mencapai ma’rifat serta mengetahui rahasia alam semesta. Di puncak Gunung Hira, – sebelah utara Mekah -terletak sebuah gua yang baik sekali buat tempat menyendiri dan tahannuth. Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun ia pergi ke sana dan berdiam di tempat itu, cukup hanya dengan bekal sedikit yang dibawanya. Ia tekun dalam renungan dan ibadat, jauh dari segala kesibukan hidup dan keributan manusia.
Bilamana bulan Ramadan sudah berlalu dan ia kembali kepada Khadijah, pengaruh pikiran yang masih membekas padanya membuat Khadijah menanyakannya selalu, karena diapun ingin lega hatinya bila sudah diketahuinya ia dalam keadaan baik-baik saja. Bila telah tiba pula bulan Ramadan tahun berikutnya, ia pergi ke Hira’, sehingga sedikit demi sedikit ia bertambah matang, jiwanyapun semakin penuh.
Ketika Nabiyullah Saw berusia empat puluh tahun, tatkala ia berada dalam gua itu, datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata kepadanya: “Bacalah!” Dengan terkejut Muhammad menjawab: “Saya tak dapat membaca”. Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi seraya katanya lagi: “Bacalah!” Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab: “Apa yang akan saya baca.” Seterusnya malaikat itu berkata:
“Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya …” (Qur’an 96:1-5)
Lalu ia mengucapkan bacaan itu. Malaikatpun pergi, setelah kata-kata itu terpateri dalam kalbunya. Nabi Saw sendiri kemudian ketakutan, sambil bertanya-tanya kepada dirinya: Gerangan apakah yang dilihatnya?! Ataukah kesurupan yang ditakutinya itu kini telah menimpanya?! Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tak melihat apa-apa.
Kuatir akan apa yang terjadi dalam gua itu, ia lari dari tempat itu. Semuanya serba membingungkan. Tak dapat ia menafsirkan apa yang telah dilihatnya itu. Cepat-cepat ia pergi menyusuri celah-celah gunung, sambil bertanya-tanya dalam hatinya: siapa gerangan yang menyuruhnya membaca itu?! Ia memasuki pegunungan itu masih dalam ketakutan, masih bertanya-tanya. Tiba-tiba ia mendengar ada suara memanggilnya. Dahsyat sekali terasa. Ia melihat ke permukaan langit. Tiba-tiba yang terlihat adalah malaikat dalam bentuk manusia. Dialah yang memanggilnya. Ia makin ketakutan sehingga tertegun ia di tempatnya. Ia memalingkan muka dari yang dilihatnya itu. Tetapi dia masih juga melihatnya di seluruh ufuk langit. Sebentar melangkah maju ia, sebentar mundur, tapi rupa malaikat yang sangat indah itu tidak juga lalu dari depannya. Seketika lamanya ia dalam keadaan demikian.
Setelah rupa malaikat itu menghilang Muhammad pulang sudah berisi wahyu yang disampaikan kepadanya. Jantungnya berdenyut, hatinya berdebar-debar ketakutan. Sesampainya di rumah, dijumpainya Khadijah sambil ia berkata: “Selimuti aku!” Ia segera diselimuti. Tubuhnya menggigil seperti dalam demam. Setelah rasa ketakutan itu berangsur reda dipandangnya isterinya dengan pandangan mata ingin mendapat kekuatan. “Khadijah, kenapa aku?” katanya. Kemudian diceritakannya apa yang telah dilihatnya, dan dinyatakannya rasa kekuatirannya akan teperdaya oleh kata hatinya atau akan jadi seperti juru nujum saja. Khadijah yang penuh rasa kasih-sayang, adalah tempat ia melimpahkan rasa damai dan tenteram kedalam hati yang besar itu, hati yang sedang dalam kekuatiran dan dalam gelisah. Khadijah berusaha untuk membesarkan menghibur hati Muhammad Saw hingga ia merasa tenang kembali.
Ditulis dalam Rosulullah Saw.
Hijrah ke Madinah
Ali ra Menggantikan Rasulullah Saw
Quraisy berencana membunuh Muhammad, karena dikuatirkan ia akan hijrah ke Medinah. Ketika itu kaum Muslimin sudah tak ada lagi yang tinggal kecuali sebagian kecil. Ketika perintah dari Allah Swr datang supaya beliau haijrah, beliau meminta Abu Bakr supaya menemaninya dalam hijrahnya itu. Sebelum itu Abu Bakr memang sudah menyiapkan dua ekor untanya yang diserahkan pemeliharaannya kepada Abdullah b. Uraiqiz sampai nanti tiba waktunya diperlukan.
Pada malam akan hijrah itu pula Muhammad membisikkan kepada Ali b. Abi Talib supaya memakai mantelnya yang hijau dari Hadzramaut dan supaya berbaring di tempat tidurnya. Dimintanya supaya sepeninggalnya nanti ia tinggal dulu di Mekah menyelesaikan barang-barang amanat orang yang dititipkan kepadanya. Demikianlah, ketika pemuda-pemuda Quraisy mengintip ke tempat tidur Nabi Saw, mereka melihat sesosok tubuh di tempat tidur itu dan mengira bahwa Nabi Saw masih tidur.
Bersembunyi di Gua Thaur
Menjelang larut malam, Rasulullah Saw keluar tanpa setahu mereka. Bersama-sama dengan Abu Bakr beliau bertolak ke arah selatan menuju gua Thaur. Hanya empat orang yang tahu keberadaan beliau berdua, yaitu Abdullah b. Abu Bakr, Aisyah dan Asma (puteri-puteri Abu Bakr), serta pembantu mereka ‘Amir b. Fuhaira. Bila hari sudah sore Asma, datang membawakan makanan buat mereka. Abdullah setiap hari berada di tengah-tengah Quraisy untuk memantau perkembangan yang terjadi untuk disampaikan pada beliau pada malam harinya. ‘Amir tugasnya menggembalakan kambing Abu Bakr’, memerah susu dan menyiapkan daging. Apabila Abdullah b. Abi Bakr kembali dari tempat mereka bersembunyi di gua itu, datang ‘Amir mengikutinya dengan kambingnya guna menghapus jejaknya.
Sementara itu pihak Quraisy berusaha sungguh-sungguh mencari mereka. Pemuda-pemuda Quraisy membawa pedang dan tongkat sambil mondar-mandir mencari ke segenap penjuru. Ketika itu mereka bergerak menuju ke gua tempat sembunyi. Lalu orang-orang Quraisy itu datang menaiki gua itu, tapi kemudian ada yang turun lagi. “Kenapa kau tidak menjenguk ke dalam gua?” tanya kawan-kawannya. “Ada sarang laba-laba di tempat itu, yang memang sudah ada sejak sebelum Muhammad lahir,” jawabnya. “Saya melihat ada dua ekor burung dara hutan di lubang gua itu. Jadi saya mengetahui tak ada orang di sana.”
Demikanlah, kalau saja mereka ada yang menengok ke bawah pasti akan melihat beliau berdua. Tetapi orang-orang Quraisy itu makin yakin bahwa dalam gua itu tak ada manusia tatkala dilihatnya ada cabang pohon yang terkulai di mulut gua. Tak ada jalan orang akan dapat masuk ke dalamnya tanpa menghalau dahan-dahan itu. Ketika itulah mereka lalu surut kembali. Rasulullah s.a.w. tinggal dalam gua selama tiga hari tiga malam. Tentang cerita gua ini dikisahkan dalam firman Allah Swt:
“Ingatlah tatkala orang-orang kafir (Quraisy) itu berkomplot membuat rencana terhadap kau, hendak menangkap kau, atau membunuh kau, atau mengusir kau. Mereka membuat rencana dan Allah membuat rencana pula. Allah adalah Perencana terbaik.” (Qur’an, 8: 30) “Kalau kamu tak dapat menolongnya, maka Allah juga Yang telah menolongnya tatkala dia diusir oleh orang-orang kafir (Quraisy). Dia salah seorang dari dua orang itu, ketika keduanya berada dalam gua. Waktu itu ia berkata kepada temannya itu: ‘Jangan bersedih hati, Tuhan bersama kita!’ Maka Tuhan lalu memberikan ketenangan kepadanya dan dikuatkanNya dengan pasukan yang tidak kamu lihat. Dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itu juga yang rendah dan kalam Allah itulah yang tinggi. Dan Allah Maha Kuasa dan Bijaksana.” (Qur’an, 9: 40)
Pada hari ketiga, ketika keadaan sudah tenang, unta kedua orang itu didatangkan. Asma datang makanan. Dikisahkan, Asma merobek ikat pinggangnya lalu sebelahnya dipakai menggantungkan makanan dan yang sebelah lagi diikatkan, sehingga ia lalu diberi nama “dhat’n-nitaqain” (yang bersabuk dua). Mereka kemudian berangkat.
Karena mengetahui pihak Quraisy sangat gigih mencari mereka, maka perjalanan ke Yathrib itu mereka mengambil jalan yang tidak biasa ditempuh orang. Abdullah b. ‘Uraiqit – dari Banu Du’il – sebagai penunjuk jalan, membawa mereka ke arah selatan di bawahan Mekah, kemudian menuju Tihama di dekat pantai Laut Merah. Kedua orang itu beserta penunjuk jalannya sepanjang malam dan di waktu siang berada di atas kendaraan. Memang, Rasulullah Saw sendiri tidak pernah menyangsikan, bahwa Tuhan akan menolongnya, tetapi “jangan kamu mencampakkan diri ke dalam bencana.” Allah menolong hambaNya selama hamba menolong dirinya dan menolong sesamanya.
Suraqa
Ketika itu Quraisy mengadakan sayembara, barangsiapa bisa menyerahkan Muhammad akan diberi hadiah seratus ekor unta. Mereka sangat giat mencari Rasulullah Saw. Ketika terdengar kabar bahwa ada rombongan tiga orang sedang dalam perjalanan, mereka yakin itu adalah Muhammad dan beberapa orang sahabatnya. Suraqa b. Malik b. Ju’syum, salah seorang dari Quraisy, juga ingin memperoleh hadiah seratus ekor unta. Tetapi ia ingin memperoleh hadiah seorang diri saja. Ia mengelabui orang-orang dengan mengatakan bahwa itu bukan Muhammad. Tetapi setelah itu ia segera pulang ke rumahnya. Dipacunya kudanya ke arah yang disebutkan tadi seorang diri.
Demikian bersemangatnya Suraqa mengejar Nabi Saw hingga kudanya dua kali tersungkur ketika hendak mencapai Nabi. Tetapi melihat bahwa ia sudah hampir kedua orang itu, ia tetap memacu kudanya karena rasanya Muhammad sudah di tangan. Akan tetapi kuda itu tersungkur sekali lagi dengan keras sekali, sehingga penunggangnya terpelanting dari punggung binatang itu dan jatuh terhuyung-huyung dengan senjatanya. Suraqa merasa itu suatu alamat buruk jika ia bersikeras mengejar sasarannya itu. Sampai di situ ia berhenti dan hanya memanggil-manggil:
“Saya Suraqa bin Ju’syum! Tunggulah, saya mau bicara. Saya tidak akan melakukan sesuatu yang akan merugikan tuan-tuan.” Setelah kedua orang itu berhenti melihat kepadanya, dimintanya kepada Muhammad supaya menulis sepucuk surat kepadanya sebagai bukti bagi kedua belah pihak. Dengan permintaan Nabi, Abu Bakr lalu menulis surat itu di atas tulang atau tembikar yang lalu dilemparkannya kepada Suraqa. Setelah diambilnya oleh Suraqa surat itu ia kembali pulang. Sekarang bila ada orang mau mengejar Nabi Saw, maka dikaburkan olehnya, sesudah tadinya ia sendiri yang mengejarnya.
Perjalanan Hijrah Rasul Saw
Selama tujuh hari terus-menerus rombongan Rasulullah Saw berjalan, mengaso di bawah panas membara musim kemarau dan berjalan lagi sepanjang malam mengarungi lautan padang pasir dengan perasaan kuatir. Hanya karena adanya iman kepada Allah Swt membuat hati dan perasaan mereka terasa lebih aman. Ketika sudah memasuki daerah kabilah Banu Sahm dan datang pula Buraida kepala kabilah itu menyambut mereka, barulah perasaan kuatir dalam hatinya mulai hilang. Jarak mereka dengan Yathrib kini sudah dekati.
Selama mereka dalam perjalanan yang sungguh meletihkan itu, berita-berita tentang hijrah Nabi dan sahabatnya yang akan menyusul kawan-kawan yang lain, sudah tersiar di Yathrib. Penduduk kota ini sudah mengetahui, betapa kedua orang ini mengalami kekerasan dari Quraisy yang terus-menerus membuntuti. Oleh karena itu semua kaum Muslimin tetap tinggal di tempat itu menantikan kedatangan Rasulullah dengan hati penuh rindu ingin melihatnya, ingin mendengarkan tutur katanya. Banyak di antara mereka itu yang belum pernah melihatnya, meskipun sudah mendengar tentang keadaannya dan mengetahui pesona bahasanya serta keteguhan pendiriannya. Semua itu membuat mereka rindu sekali ingin bertemu, ingin melihatnya.
Masyarakat Madinah
Tersebarnya Islam di Yathrib dan keberanian kaum Muslimin di kota itu sebelum hijrah Nabi ke tempat tersebut sama sekali di luar dugaan kaum Muslimin Mekah. Beberapa pemuda Muslimin bahkan berani mempermainkan berhala-berhala kaum musyrik di sana. Seseorang yang bernama ‘Amr bin’l-Jamuh mempunyai sebuah patung berhala terbuat daripada kayu yang dinamainya Manat, diletakkan di daerah lingkungannya seperti biasa dilakukan oleh kaum bangsawan. ‘Amr ini adalah seorang pemimpin Banu Salima dan dari kalangan bangsawan mereka pula. Sesudah pemuda-pemuda golongannya itu masuk Islam malam-malam mereka mendatangi berhala itu lalu di bawanya dan ditangkupkan kepalanya ke dalam sebuah lubang yang oleh penduduk Yathrib biasa dipakai tempat buang air. Bila pagi-pagi berhala itu tidak ada ‘Amr mencarinya sampai diketemukan lagi, kemudian dicucinya dan dibersihkan lalu diletakkannya kembali di tempat semula, sambil ia menuduh-nuduh dan mengancam. Tetapi pemuda-pemuda itu mengulangi lagi perbuatannya mempermainkan Manat ‘Amr itu, dan diapun setiap hari mencuci dan membersihkannya. Setelah ia merasa kesal karenanya, diambilnya pedangnya dan digantungkannya pada berhala itu seraya ia berkata: “Kalau kau memang berguna, bertahanlah, dan ini pedang bersama kau.” Tetapi keesokan harinya ia sudah kehilangan lagi, dan baru diketemukannya kembali dalam sebuah sumur tercampur dengan bangkai anjing. Pedangnya sudah tak ada lagi. Sesudah kemudian ia diajak bicara oleh beberapa orang pemuka-pemuka masyarakatnya dan sesudah melihat dengan mata kepala sendiri betapa sesatnya hidup dalam syirik dan paganisma itu, yang hakekatnya akan mencampakkan jiwa manusia ke dalam jurang yang tak patut lagi bagi seorang manusia, iapun masuk Islam.
Mesjid Quba’
Ketika rombongan Rasulullah Saw sampai di Quba’, mereka tinggal empat hari ia di sana dan membangun mesjid Quba’. Di tempat ini Ali b. Abi-Talib ra menyusul, setelah mengembalikan barang-barang amanat – yang dititipkan oleh rasulullah Saw – kepada pemilik-pemiliknya di Mekah. Ali ra menempuh perjalanannya ke Yathrib dengan berjalan kaki. Malam hari ia berjalan, siangnya bersembunyi. Perjuangan yang sangat meletihkan itu ditanggungnya selama dua minggu penuh, yaitu untuk menyusul saudara-saudaranya seagama.
Sampai di Madinah (Yathrib)
Demikanlah akhirnya rombongan Rasulullah selamat sampai Madinah. Hari itu adalah hari Jum’at dan Muhammad berjum’at di Medinah. Di tempat itulah, ke dalam mesjid yang terletak di perut Wadi Ranuna itulah kaum Muslimin datang, masing-masing berusaha ingin melihat serta mendekatinya. Mereka ingin memuaskan hati terhadap orang yang selama ini belum pernah mereka lihat, hati yang sudah penuh cinta dan rangkuman iman akan risalahnya, dan yang selalu namanya disebut pada setiap kali sembahyang. Orang-orang terkemuka di Medinah menawarkan diri supaya ia tinggal pada mereka.
Tetapi ia dengan halus meminta maaf kepada mereka. Kembali ia ke atas unta betinanya, dipasangnya tali keluannya, lalu ia berjalan melalui jalan-jalan di Yathrib, di tengah-tengah kaum Muslimin yang ramai menyambutnya dan memberikan jalan sepanjang jalan yang diliwatinya itu. Seluruh penduduk Yathrib, baik Yahudi maupun orang-orang pagan menyaksikan adanya hidup baru yang bersemarak dalam kota mereka itu, menyaksikan kehadiran Rasulullah Saw, seorang pendatang baru, orang besar yang telah mempersatukan Aus dan Khazraj, yang selama itu saling bermusuhan, dan saling berperang.
Sesampainya ke sebuah tempat penjemuran kurma kepunyaan dua orang anak yatim dari Banu’n-Najjar, unta itu berlutut (berhenti). Ketika itulah Rasul turun dari untanya dan bertanya: “Kepunyaan siapa tempat ini?” tanyanya. “Kepunyaan Sahl dan Suhail b. ‘Amr,” jawab Ma’adh b. ‘Afra’. Dia adalah wali kedua anak yatim itu. Ia akan membicarakan soal tersebut dengan kedua anak itu supaya mereka puas. Dimintanya kepada Muhammad supaya di tempat itu didirikan mesjid. Muhammad mengabulkan permintaan tersebut dan dimintanya pula supaya di tempat itu didirikan mesjid dan tempat-tinggalnya.
Nenek Moyang Rasulullah SAW
Rasulullah SAW adalah keturunan Nabi Ibrahim as, dari perkawinannya dengan Hajar,istri yang kedua. Perkawinan ini mendapatkan putra, Nabi Ismail as.
Suku Quraisy adalah keturunan Fihr, yang dinamakan juga Quraisy, yang berarti saudagar. Ia hidup di abad 3 Masehi. Fihr adalah keturunan Ma’ad. Ma’ad adalah anak Adnan yang merupakan keturunan langsung dari Nabi Ismail as.
Qushay, salah seorang keturunan Fihr yang hidup di abad 5 Masehi, berhasil mempersatukan semua suku Quraisy, dan menguasai seluruh Hijaz, yaitu daerah selatan Jazirah Arab, yang di dalamnya terdapat kota Makkah, Madinah, Ta’if, dan Jeddah. Ia memperbaiki Ka’bah, mendirikan istana, menarik pajak, dan menyediakan makan serta air peziarah Ka’bah yang datang setahun sekali. Tradisi ziarah ini sekarang, di masa Islam, menjadi ibadah haji.. Qushai meninggal tahun 480 M. Posisinya digantikan putranya, Abdud Dar.
Anak kedua Qushai, Abdul Manaf, lebih disegani warga. Anak Abdul Manaf adalah Muthalib, serta kembar siam Hasyim dan Abdu Syam yang harus dipisah dengan pisau. Anak-anak Abdul Manaf mencoba merebut hak menjaga Baitullah dari anak-anak Abdud-Dar yang kurang berwibawa di masyarakat.
Sepeninggal Abdud Dar, terjadilah sengketa antara keturunan Abdud Dar dan anak-anak Abdul Manaf. Selanjutnya diadakan pembagian tugas. Abdus Syam, anak Abdul Manaf, bertugas menyediakan air dan mengumpulkan pajak. Sedangkan cucu-cucu Abdud Daar bertugas menjaga Ka’bah, istana, dan bendera peperangan.
Setelah beberapa waktu Abdus Syam menyerahkan tugas ini kepada adiknya, Hasyim. Hasyim merupakan seorang tokoh terkenal di negeri Arab pada waktu itu karena keberanian dan kejujurannya. Anak Abdu Syam, Umayah, mencoba merebut mandat itu. Hakim memutuskan bahwa hak tersebut tetap pada Hasyim. Umayah, sesuai perjanjian, dipaksa meninggalkan Makkah. Salah seorang keturunan Umayah adalah Abu Sofyan. Putra Abu Sofyan, Muawiyah, kelak mendirikan dinasti Umayah.
Hasyim menikah dengan Salma binti Amr dari Bani Khazraj, perempuan sangat terhormat di Yatsrib atau Madinah. Mereka berputra Syaibah, yang dikenal juga dengan nama Abdul Muthalib. Abdul Muthalib inilah kakek Rasulullah SAW.
Hasyim meninggal tahun 510 M, dan posisinya digantikan saudaranya, Muthalib. Sepeninggal Muthalib tanggung jawab kekuasaannya dipegang oleh Abdul Muthalib. Abdul Muthalib mula-mula tinggal di Madinah sampai Muthalib yang menggantikan Hasyim wafat.
Ditulis dalam Rosulullah Saw.
sumber
http://zidniagus.wordpress.com/2009/11/08/
Langganan:
Postingan (Atom)